Saling Berbagi
Dari keterangan Ali diketahui ada rumah yang dijadikan semacam "basecamp" oleh para pencari suaka.
Kebetulan saat itu ANTARA News bertemu dengan pemuda Indonesia bernama Petra Marwie yang tengah memberikan perlengkapan bersih-bersih, seperti sabun mandi dan deterjen, serta karpet.
Petra yang mengatakan "mulai belajar berbagi" pada Februari lalu, kemudian mengajak untuk berkunjung ke "basecamp" yang terletak persis di sebelah rumah Ketua RT.
Basecamp yang biaya sewanya ditanggung oleh seorang donatur tersebut berbentuk rumah petak tingkat dua dengan ruang tamu beralas karpet kemudian dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi dan tangga menuju dua kamar di lantai atas.
Satu kamar di lantai atas terkunci, karena pemiliknya, menurut Petra, sedang pergi ke Bogor, satu kamar lagi dipenuhi tas-tas, kardus-kardus, ember-ember, serta pakaian dan handuk yang bergelantungan.
Dari Petra diketahui bahwa sebenarnya telah disediakan penampungan bagi para pencari suaka, namun hanya diperuntukan bagi orang tua, perempuan dan anak-anak di bawah 18 tahun.
Itu pun "memiliki kuota", sehingga harus menunggu ada yang pergi untuk dapat masuk dalam penampungan tersebut.
Saat berbincang dengan Neneng, Ibu RT 003 RW 02 Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, dia mengatakan memiliki kisah "pahit-manis" bersama para pencari suaka.
"Selasa kemarin, malam-malam tiba-tiba ada yang gedor pintu. Tau-taunya ada yang muntah-muntah itu (pencari suaka)," kata Neneng.
Tanpa pikir panjang Neneng memberhentikan taksi dan mengirim seorang pencari suaka ke klinik.
Dia memberi uang Rp 200.0000 untuk biaya berobat. Padahal, uang itu akan dia belikan baju baru untuk anak kembarnya.
Pendapatan yang terhitung pas-pasan - suaminya berprofesi sebagai petugas keamanan dan dua anak kembar berkebutuhan khsusus - tak membuat Neneng menutup mata hatinya.
Neneng mengaku banyak orang yang telah menasihatinya untuk tidak terlalu peduli pada para pencari suaka dengan mengatakan bahwa mereka terlalu berat dalam kapasitas Neneng sebagai ketua RT.
"Mereka (para pencari suaka) itu urusan dunia, kamu enggak usah ikut campur" begitu kata mereka. Tapi, namanya sesama manusia masa' ya tega," ujar Neneng.
Hari Kemenangan
"Mereka terlihat sangat cantik," ujar Fakhira (16), adik Ali, menerjemahkan perkataan Ibunya dalam bahasa Persia ke bahasa Inggris kepada ANTARA News, Minggu.
Saat itu tatapan mata Ibu Fakhria tertuju kepada sejumlah remaja seusia Fakhria.
Takbir telah selesai dikumandangkan, jalan Kebon Sirih Barat dilewati oleh para pejalan kaki, satu - dua orang, bahkan ada yang bergerombolan.
"Biasanya juga bersilaturahim ke keluarga dan kerabat. Hari pertama, kedua, ketiga, biasanya kami berkeliling. Tapi sekarang tidak, tidak ada yang bisa kami dikunjungi," ujar Fakhria bercerita sambil tersenyum dan menatap segerombolan orang.
Para warga sekitar memang tengah melakukan halalbihalal usai melaksanakan shalat Idul Fitri. Fakhria sendiri mengaku tidak melaksanakan shalat sunnah tersebut.
"Pakaian kami terlalu kotor, jadi kami hanya membaca Quran saja di sini," kata dia.
Sementara itu, Ali masih tidur, Ibunya sesekali membenarkan selimut anak laki-laki satu-satunya itu sambil mengusap rambutnya. Ali sedang tidak enak badan, kata Ibunya.
Dari penuturan Fakhria diketahui bahwa Ali sebenarnya telah terlebih dahulu tiba di Indonesia, tepatnya 17 bulan yang lalu.
Dari Ali pula dia mengetahui bahwa Indonesia tempat yang aman dan ada orang yang dapat membantu untuk mendapat kehidupan yang lebih baik.