Masjid-masjid tua di Jakarta tidak ketinggalan menjadi bagian contoh akulturasi mengingat wilayah Ibu Kota yang kerap disebut "melting point". Dua masjid di antaranya dibangun atas sumbangan warga China Muslim.
Salah satunya adalah Masjid Hidayatullah di Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan. Masjid dengan dua menara serta atap tumpang yang tipikal bangunan berarsitek China ini berdiri di kawasan Karet yang dari dulu dihuni warga keturunan China, yang diduga masih kerabat Pak Teng-Sin, cikal bakal nama Karet Tengsin (Kompas, 19 November 1993).
Satu masjid lainnya adalah Masjid Angke yang memiliki nama resmi Masjid Al-Anwar. Masjid dengan nama "angke" yang dalam bahasa Tionghoa menurut sejarawan Perancis Denys Lombard berarti riviere qui deborde atau kali yang (sering) banjir ini terletak di Jakarta Barat.
Masjid yang dibangun pada 1761 tersebut didirikan oleh seorang wanita keturunan China Muslim dari Tartar yang bersuamikan orang Banten.
Langgam China dapat dilihat pada detail konstruksi balok sokong atap bangunan yang mengingatkan pada balok sokong bangunan China atau kelenteng (Kompas, 23 September 2001).
Komunitas Muslim Tionghoa
Hadirnya budaya China pada masjid juga tidak terlepas dari bertumbuhnya komunitas Muslim China di Indonesia.
Selain yayasan seperti Pembina Iman Tauhid Islam (PITI) yang mendirikan masjid Cheng Ho di Palembang, Komunitas Tionghoa Muslim memiliki masjid unik di Jalan Lau Tze, Jakarta Pusat.
Masjid yang merupakan gabungan dua rumah toko (ruko) yang didirikan Yayasan Haji Karim Oei itu sering kali hanya digunakan untuk shalat zuhur dan ashar.
Pasalnya, kegiatan masyarakat Tionghoa di kawasan itu memang ramai selama jam kerja (Kompas, 4 November 2004). Nama Haji Karim Oei sendiri merujuk pada tokoh Islam keturunan Tionghoa yang dekat dengan mendiang proklamator Soekarno dan Mohammad Hatta.
Ketua Yayasan Haji Karim Oei, Haji M Ali Karim Oei, mengatakan, masjid yang didirikan sejak 1991 itu memiliki beragam keunikan. Salah satunya sebagai pusat informasi dan dakwah di kawasan hunian serta bisnis masyarakat Tionghoa.
Bangunan Masjid Lau Tze sepintas dapat menipu mata jika tidak terdapat tulisan masjid. Di belakang mimbar digantung sepasang kaligrafi Arab ala Shu Fa atau kaligrafi Tionghoa asli buatan Beijing.
"Saat awal pembangunan, seorang encim sempat datang membawa beberapa batang hio untuk sembahyang di masjid ini karena dikira kelenteng," kata Ali Karim Oei.
Masjid dengan nama yang sama juga berdiri di Bandung (Masjid Lautze 2). Ketua Dewan Keluarga Masjid (DKM) Lautze 2 Bandung Ku Khie Fung (Syarief Abdurrahman) menjelaskan, masjid yang berdiri tahun 1997 tersebut dibangun oleh Yayasan Haji Karim Oei untuk mengurangi diskriminasi terhadap kaum Tionghoa.
"Masjid ini dimaksudkan sebagai upaya asimilasi warga Tionghoa dengan pribumi," ujarnya seperti dikutip dari harian Kompas, 13 Februari 2010.
Di luar Masjid Lau Tze Jakarta dan Bandung, ada pula masjid di Salatiga, Jawa Tengah, yang merupakan bagian dari kompleks Pondok Pesantren Mutiara Hati Beriman.
Bagian atap masjid ini terlihat terdiri dari tiga tingkat dengan corak arsitektur Tionghoa. Warna bangunannya pun didominasi merah dan kuning.
"Islam itu kaya budaya. Masjid tidak berarti harus selalu berbentuk kubah. Masjid berarsitektur Tionghoa ini sama sekali tidak bermaksud eksklusif, tetapi sekadar rancang bangun," tutur Ketua Badan Pembina Yayasan Mutiara Hati Beriman Iskandar Abdurrahman (Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 20 Juni 2009).
Menurut Iskandar atau juga dipanggil Chang I Pao, masjid yang disebut masjid "Arwana" alias Arab, Jawa, dan China itu diharapkan bisa mendewasakan umat, sekaligus membuat komunitas Tionghoa merasa dihargai dan merasakan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam atau rahmatan lil 'alamin.
Baca: Masjid Lautze dan Aktivitas Muslim Tionghoa pada Hari Minggu...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.