Di luar peran Cheng Ho, pembangunan sebuah masjid di Medan, Sumatera Utara, melibatkan kapitan China. Uniknya, masjid itu dinamai Masjid Lama Gang Bengkok.
"Dari dulu namanya Masjid Lama Gang Bengkok. Masjid tidak punya nama Arab," tutur Sekretaris Badan Kenaziran Masjid Lama Gang Bengkok Medan M Ihsan Tanjung (Kompas, 14 Agustus 2010).
Nama Gang Bengkok muncul karena masjid itu berdiri di pinggir gang yang bengkok. Atap masjid ini punya sisi-sisi melengkung khas arsitektur China, dengan ornamen Melayu bermotif lebah bergantung.
Masjid yang kini disebut bisa menampung 2.000 orang tersebut didirikan Kapitan China Tjong A Fie, salah satu pembangun Kota Medan, dan diperkirakan selesai dibangun pada 1885 saat pemerintahan Sultan Deli Makmun Arrasyid.
Diduga, arsitek pembangunan masjid itu sama dengan arsitek yang membangun rumah Tjong A Fie. Gaya itu terlihat dari pilar ruang utama masjid yang sama dengan pilar di rumah Tjong A Fie di Jalan Ahmad Yani.
Sementara itu, tanah tempat masjid berdiri adalah tanah wakaf dari Datuk Kesawan H Mohammad Ali.
Peran arsitek China
Bentuk ornamen oriental pada masjid adakalanya merupakan peran jasa arsitek dan pekerja China. Misalnya masjid di kawasan Pasar Lama Tangerang.
Masjid yang dibangun sekitar abad ke-18 dengan karakter "pagoda" yang disebut melambangkan keharmonisan antaretnis-budaya-agama ini melibatkan tukang yang didatangkan dari China.
Para pekerja itu juga membangun kelenteng dan ruko wilayah tersebut (Kompas, 18 Februari 2001).
Contoh lainnya adalah Masjid Agung Banten. Masjid ini kali pertama dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama Kasultanan Demak yang juga putra pertama Sunan Gunung Jati.
Rancangan bangunan utama masjid beratap tumpuk lima ini dipercayakan kepada arsitek China bernama Cek Ban Cut (Kompas, 2 Juni 2002).
Lalu, di Madura ada Masjid Agung Sumenep dengan gerbang berarsitektur China. Masjid megah ini dibangun pada masa pemerintahan Adipati Sumenep Pangeran Natakusuma I atau yang dikenal Panembahan Somala (1762-1811).
Pembangunannya berlangsung enam tahun sejak 1781 setelah Keraton Sumenep dibangun. Untuk membangun keraton dan masjid, menurut Kompas edisi 10 April 2010, Panembahan Somala menunjuk seorang etnis Tionghoa bernama Lauw Pia Ngo sebagai arsiteknya.
Lauw Pia Ngo adalah cucu Lauw Khun Thing, salah satu dari enam warga Tionghoa yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep.
Masjid tua sumbangan warga China Muslim