ESOK hari, kita telah memasuki Hari Raya bagi umat Islam. Idul Fitri diharapkan telah mengembalikan fitrah manusia ke kesucian, fitrah yang tanpa dosa, penuh cinta dan kasih sayang.
Oh iya, jangan lupa, Sabtu (24/6/2017) ini hingga esok dini hari sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri adalah waktu terakhir untuk membayar zakat. Jangan lupa!
Islam memiliki konsep bahwa asal muasal manusia ketika bayi adalah suci dari dosa. Setelah memasuki dunia, bayi yang suci itu pada akhirnya akan dibentuk oleh waktu dan sejarah, yang pada akhirnya manusia bergelimang dengan segala dosa dan kesalahan.
Di Hari Raya nan fitri ini, sudah sepantasnya kita sebagai sesama manusia saling memohon maaf. Sekaligus juga memohon ampunan kepada Allah SWT, atas segala dosa yang telah kita perbuat.
Di Indonesia, ritual minta maaf ini begitu kolosal yang tercermin dari mudik nasional. Jutaan orang bermigrasi dari tempat satu ke tempat lain, mengunjungi sanak saudara, berziarah ke tanah leluhur, untuk mendapatkan satu kata: maaf.
Setelah menunaikan puasa Ramadhan dan setelah saling bermaafkan, umat Islam merasakan kekuatan untuk menuju manusia yang fitri kembali. Bagi yang benar-benar berpuasa karena Allah SWT, telah ada jaminan untuk menjadi manusia yang lebih bertaqwa.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, saya yakin konsep manusia kembali fitri dan konsep manusia taqwa ini mampu untuk menjadikan manusia Indonesia lebih baik. Manusia yang mengasihi sesama dan peduli terhadap distribusi keadilan sekitar.
Baca juga: ?The Power of Maaf?, Jangan Remehkan Kekuatan Maaf
Hasan Askari dalam buku Menuju Humanisme Spiritual, Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis (1995) halaman 63, menekankan soal potensi kekuatan fitrah manusia ini. Menurutnya, fitrah adalah tempat penyimpanan bagi kekuatan hidup, kekuatan rasional, dan kekuatan spiritual.
Kekuatan-kekuatan inilah yang kemudian bisa dimanfaatkan, diperkaya, dan ditampakkan pada kebaikan individu dan sosial. Kembali kepada fitrah, berarti mengingatkan kepada kita semua akan potensi kekuatan individu untuk semakin saleh, baik saleh secara individu maupun saleh secara sosial.
Hasan Askari menekankan, setiap manusia dipandang bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Inilah gagasan tangggung jawab dalam Islam, bahwa setiap orang akan menyadari apa yang diyakininya dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas tindakan-tindakannya.
Dalam debat soal humanisme dan Islam tentang fitrah manusia, Hasan Askari berpendapat, sudah saatnya dua konsepsi ini saling bekerja sama demi keadilan dan persamaan hak asasi manusia di muka bumi ini.
Askari mengutip Al Quran Surat 5 Ayat 85, yang menyatakan kita perlu menangguhkan waktu untuk sementara aneka ragam perselisihan menjadi kerja sama dalam jalan kebaikan.
Fitrah manusia yang suci dan punya potensi kekuatan untuk menyebarkan kebaikan ini juga selaras dengan ajaran Islam. Islam mengingatkan pemeluknya untuk senantiasa berbuat kebaikan dan mewujudkan Islam yang menjamin keselamatan bagi seluruh penghuni bumi, menjadi agama yang rahmatan lil 'alamin.
Penekanan ini merupakan ide revolusioner waktu itu, mengingat setting zaman lahirnya Islam waktu itu kesewenang-wenangan oleh kelompok suku dominan sudah menjadi hal yang wajar. Penindasan kepada yang lemah dan perbudakan merajalela.