JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi Mukhamad Misbakhun mengaku tidak mempersoalkan jika ada kegaduhan yang timbul akibat usul "penyanderaan" anggaran Kepolisian dan KPK pada 2018.
Hal itu menyusul usulan Misbakhun agar pembahasan anggaran RAPBN 2018 Kepolisian dan KPK tidak perlu dilakukan jika anggota Komisi II DPR periode 2009-2014, Miryam S Haryani, tidak dihadirkan ke Pansus Angket KPK.
"Ya enggak apa-apa (gaduh), mereka maunya gaduh," kata Misbakhun di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/6/2017).
Implikasi dari tidak dibahasnya anggaran RAPBN 2018, kata dia, adalah anggaran terhadap dua institusi tersebut di 2018 tertahan.
"Ya enggak punya (anggaran) lah. Silakan menikmati," tutur politisi Partai Golkar itu.
Misbakhun menuturkan, usulan telah dibawanya ke ruang lingkup pansus dan akan dimintakan kepada Komisi III DPR sebagai komisi yang bermitra kerja dengan Polri dan KPK.
(Baca: Tolak Bantu Pansus Hak Angket, Anggaran Polri dan KPK Terancam Ditahan)
Ia menyayangkan sikap Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian yang enggan membantu pansus untuk memanggil paksa Miryam.
Menurut Kapolri, permintaan itu sulit dipenuhi karena adanya hambatan di hukum acara. Padahal, pasal soal pemanggilan paksa tersebut dibahas pada era Kapolri Jenderal Pol Sutarman.
Sutarman saat itu tak mengatakan tak perlu ada pembahasan lebih rinci soal pemanggilan paksa.
Aturan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2015 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) itu dinilai sudah cukup untuk membantu kepolisian dalam proses pemanggilan paksa.
"Bagaimana pun juga parlemen harus punya kekuatan. Kekuatannya apa, apabila orang tidak menghormati panggilan parlemen, siapa yang akan menjalankan," tutur Misbakhun.
Tidak jelas
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian sebelumnya mengakui bahwa dalam undang-undang itu diatur hak DPR meminta bantuan polisi.
"Namun, persoalannya kita lihat hukum acaranya dalam undang-undang itu tidak jelas," ujar Tito di gedung KPK, Jakarta, Senin (19/6/2017).