"Kami dilarang, katanya warga Manislor tidak boleh, silakan datang ke kantor (kalau mau mengurus)," ujar Lika.
Urusan sosial ekonomi warga juga jadi terganggu.
Menurut dia, banyak hal lain yang dialami warga sebagai dampak tidak diterbitkannya e-KTP bagi pengikut Ahmadiyah setempat.
Misalnya, kesulitan mengurus BPJS, perbankan, pendaftaran kuliah anak di perguruan tinggi, dan lainnya.
Lika mengatakan, ia pernah tak bisa mengurus ATM miliknya yang terblokir.
"Tetapi karena saya enggak ada KTP jadi enggak bisa urus," ujar Lika.
Syamsul Alam Agus, kuasa hukum warga Ahmadiyah Manislor dari Yayasan Satu Keadilan, mengatakan, hingga kini, setidaknya ada 1.400 anggota jemaah Ahmadiyah di Manislor yang belum mendapatkan e-KTP.
"Akibatnya, berdampak pada pengurusan administrasi kependudukan lainnya, seperti pernikahan, SKCK, dan lain sebagainya," ujar Agus.
Menurur dia, kasus pengabaian hak atas identitas diri terhadap jemaah Ahmadiyah di Manislor tersebut terjadi pasca terbitnya Surat Pakem oleh Tim Pakem Kabupaten Kuningan dengan Nomor B.938/0.2.22/ Dep.5/12/ 2002, pada tanggal 3 Desember 2002.
Surat tersebut "meminta Camat tidak membuatkan KTP bagi JAI".
Kemudian, disusul dengan terbitnya Surat Bupati Kuningan Nomor: 470/627/Disdukcapil, Perihal: pencatuman agama bagi JAI pada e-KTP.
"Mereka harus keluar sebagai anggota JAI jika ingin mendapatkan KTP-el," ujar Agus.
Agus membenarkan, bahwa untuk mendapatkan identitas diri, warga Ahmadiyah Manislor harus menandatangani surat pernyataan yang intinya membaca dua kalimat Syahadat dan bersedia dibina.
Warga tidak mempermasalahkan bila pernyataan itu diberlakukan bagi seluruh warga yang ingin mencantumkan agama Islam pada kolom agama e-KTP.
"Namun, pada kenyataannya pernyataan itu hanya diberlakukan bagi Ahmadiyah dan ini menjadi salah satu bentuk diskriminasi warga negara," ujar Agus.