Meski belum ada kebulatan suara mengusung kader tertentu, muncul usulan mencalonkan putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurto Yudhoyono, sebagai capres.
Demikian pula dengan Gerindra. Sejak awal pencalonan Anies Baswedan - Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta, pencapresan kembali Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto menguat.
(baca: Prabowo: Kalau Ingin Saya Jadi Presiden 2019, Kalian Harus Kerja Keras)
Prabowo justru menjawab pencapresannya bisa terwujud jika Anies - Sandi menang di Jakarta.
Demikian pula dengan Presiden Joko Widodo. Meski Jokowi belum mendeklarasikan maju kembali dalam Pilpres 2019, beberapa partai pendukung koalisi pemerintahan seperti Golkar dan Nasdem sudah mengumumkan bakal mengusung Jokowi.
Karena itu, Golkar dan Nasdem juga ngotot agar presidential threshol berada di angka 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional.
(baca: Mendagri Bantah Pemerintah Ingin Calon Tunggal Pilpres 2019)
Qodari menilai, upaya yang dilakukan Golkar dan Nasdem merupakan suatu hal yang realistis agar pemilu berpotensi berlangsung satu putaran.
Dengan presidential threshold saat ini, dipercaya bakal memudahkan Jokowi untuk menang Pilpres 2019.
Sebab, hingga kini elektabilitas Jokowi masih lebih tinggi dibandingkan bakal calon lainnya.
Survei Harian Kompas pada 29 Mei 2017, menunjukan elektabilitas Jokowi berada di posisi pertama dengan angka 41,6 persen, diikuti Prabowo di posisi kedua sebesar 22,1 persen.
(baca: Survei 'Kompas': Elektabilitas Jokowi 41,6 Persen, Prabowo 22,1 persen)
Elektabilitas yang tinggi serta dukungan Golkar dan Nasdem, tentu menjadikan Jokowi di atas angin.
Golkar dengan perolehan kursi di DPR sebesar 16,25 persen dan Nasdem dengan 6,25 persen saja sudah bisa membuat Jokowi melenggang sebagai capres dalam Pilpres 2019.
Jumlah itu belum termasuk Hanura yang juga sudah mendeklarasikan dukungan ke Jokowi di pemilu 2019 dan PDI-P sebagai partai pengusung utama Jokowi di Pemilu 2014.