JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu sedianya selesai pada akhir April 2017.
Nyatanya, RUU yang mengatur hajat hidup parpol di Indonesia itu molor dan diperpanjang hingga 20 Juli 2017.
Hingga rapat terakhir pada Senin (19/6/2017), pembahasan antara pemerintah dan DPR masih tersandera di isu syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Pemerintah bersikeras agar presidential threshold tak berubah, yakni 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional. Suara fraksi di DPR pun terbelah.
Begitu pula parpol-parpol pendukung pemerintah. PDI-P bersama Golkar dan Nasdem kompak mendukung pemerintah dengan besaran presidential threshold yang sama.
(baca: Masih Alot, Pansus Pemilu Perpanjang Pembahasan hingga 10 Juli)
Namun, parpol pendukung pemerintah lain seperti PPP, PAN, PKB, dan Hanura menginginkan agar besaran presidential threshold diturunkan berkisar di angka 10-15 persen.
Sikap mereka juga didukung oleh dua parpol oposisi, PKS dan Gerindra.
Sementara itu, Demokrat bergeming agar presidential threshold dihapus atau nol persen. Dengan demikian, Demokrat bisa mengusung capres-cawapres tanpa perlu koalisi.
Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, menilai wajar alotnya pembahasan presidential threshol dalam pembahasan RUU Pemilu.
Menurut dia, besaran presidential threshold sangat memengaruhi konstelasi politik dalam pemilu 2019.
"Iya, ini (presidential threshold) sangat memengaruhi konstelasi politik ke depan, karena ada beberapa partai yang hendak mencalonkan kadernya menjadi capres," ujar Qodari saat dihubungi, Selasa (20/6/2017).
Sebab, beberapa partai memiliki figur yang hendak diusung sebagai capres atau cawapres.
Demokrat, misalnya. Hasil rapat kerja nasional di Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengharuskan mereka mengusung capres atau cawapres dari internal mereka.
(baca: SBY: Pilpres 2019, Demokrat Usung Pasangan Capres dan Cawapres)