JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menilai kasus suap yang melibatkan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Pimpinan DPRD Kota Mojokerto sebagai lemahnya bentuk check and balance di pemerintah daerah (Pemda).
Hal ini disampaikan Saut dalam jumpa pers terkait kasus suap ini gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Sabtu (17/6/2017).
"Ini merupakan gambaran adanya ketidak stabilan dan adanya check and balance yang sangat lemah dikalangan pemerintah daerah," kata Saut.
(Baca: Kronologi OTT Kepala Dinas PU dan Pimpinan DPRD Mojokerto)
KPK menurutnya akan bekerja mengawasi hal ini di daerah lainnya. Saut mengatakan, tidak ada jaminan hal seperti ini tidak terulang lagi.
"Lagi-lagi daerah mengalami krisis ya, kami mengatakan tidak ada jaminan bahwa seperti ini tidak terjadi di daerah lain," ujar Saut.
Saut mengatakan, di pemerintah daerah ada bagian inspektorat dalam tugas pengawasan.
Namun, kadang inspektorat di daerah tidak memiliki sikap yang berani dan kurang memiliki integritas.
KPK menurutnya sudah pernah mengumpulkan kepala daerah dan inspektoratnya guna membahas cara agar bisa menjaga integritas.
"Ada beberapa daerah punya keberanian, inspektoratnya bahkan berani manggil kepala daerahnya untuk berdiskusi tentang kelemahan-kelemahan. Tapi di daerah lain, juga enggak semua seperti itu," ujar Saut.
Sebelumnya, KPK menetapkan empat orang tersangka dalam operasi tangkap tangan di Mojokerto, Jawa Timur.
Mereka adalah Kepala Dinas PU dan Penataan Ruang Pemkot Mojokerto Wiwiet Febryanto sebagai pemberi suap.
Lalu, Ketua DPRD Kota Mojokerto Purnomo, Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Abdullah Fanani, dan Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Umar Faruq selaku penerima suap.
Sedangkan dua orang lain yang juga diamankan karena menjadi perantara suap, H dan T, saat ini masih berstatus sebagai saksi. KPK mengamankan uang Rp 470 juta.
Sebanyak Rp 300 juta di antaranya merupakan total komitmen fee dari kepala dinas untuk pimpinan DPRD Mojokerto.