JAKARTA, KOMPAS.com - Dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan nada penolakan atas pembentukan Panitia Khusus Hak Angket KPK terus bermunculan.
Kalangan masyarakat sipil, aktivis hingga akademisi mengkritik usulan hak angket tersebut karena dinilai cacat hukum, berpotensi melemahkan KPK, dan sarat kepentingan. Bahkan dukungan itu sampai mereka tunjukkan dengan mendatangi gedung KPK.
Sementara, selama 60 hari setelah dibentuk, Pansus Hak Angket KPK akan melakukan penyelidikan mengenai isu yang diajukan. Mereka akan meminta keterangan dari pemerintah, KPK, saksi, pakar dan pihak terkait lainnya.
Hasil penyelidikan tersebut nantinya akan dilaporkan dalam rapat paripurna DPR. Kemudian rapat paripurna akan mengambil keputusan terkait laporan penyelidikan pansus.
Di tengah segala kemungkinan manuver politik yang bisa terjadi, masyarakat diharapkan mengawal proses tersebut agar hasil penyelidikan pansus tidak mengarah pada pelemahan KPK.
Pakar hukum tata negara Mahfud MD menuturkan bahwa masyarakat bisa menempuh jalur hukum jika hasil penyelidikan dinilai menghambat upaya pemberantasan korupsi.
Menurut dia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, keputusan parlemen bisa digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Kalau di pengadilan ada satu, ke PTUN berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan, keputusan parlemen bisa diajukan ke PTUN. Bisa masyarakat yang mengajukan," ujar Mahfud, pada acara buka puasa bersama Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, di gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6/2017).
UU Administrasi Pemerintahan menyatakan, keputusan badan legislatif bisa dibatalkan apabila terdapat cacat wewenang, prosedur dan substansi.
Masyarakat yang merasa dirugikan dari keputusan tersebut bisa mengajukan upaya administratif, yakni keberatan dan banding.
Selain itu, kata Mahfud, ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan, yaitu melalui MK.
"Bisa juga dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk minta penafsiran apakah boleh lembaga non-pemerintah untuk diajukan hak angket," kata Mahfud.
Cacat hukum
Sebelumnya pada Rabu (14/6/2017) lalu, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) menyerahkan hasil kajian dari 132 pakar terkait pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket.
Mereka menilai pembentukan Pansus Hak Angket cacat hukum sebab menyalahi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3).
(Baca: 132 Pakar Hukum Tata Negara Nilai Cacat Pembentukan Pansus Angket KPK)
Mahfud, selaku ketua asosiasi, menjelaskan tiga hal dasar pansus tersebut dinilai cacat hukum.
Pertama, karena subyek hak angket, yakni KPK dinilai keliru.
"Subjeknya keliru karena secara historis hak angket itu dulu hanya dimaksudkan untuk pemerintah," ujar Mahfud.
Pasal 79 Ayat 3 UU MD3, kata Mahfud, menyebutkan bahwa hak angket digunakan untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang dan atau kebijakan pemerintah, misalnya presiden, wapres, para menteri, jaksa agung, kapolri, dan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK). Mahfud mengatakan, KPK tidak termasuk di dalamnya.
Kedua, obyek hak angket, yakni penanganan perkara KPK. Obyek penyelidikan hak angket harus memenuhi tiga kondisi, yakni hal penting, strategis dan berdampak luas bagi masyarakat.
Ketiga, prosedurnya dinilai salah. Prosedur pembuatan pansus itu, lanjut Mahfud, diduga kuat melanggar undang-undang karena prosedur pembentukan terkesan dipaksakan.
Seharusnya, kata dia, rapat paripurna dilakukan voting lantaran seluruh fraksi belum mencapai kesepakatan.
"Ketika itu masih banyak yang tidak setuju tiba-tiba diketok (disetujui)," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Kemudian, pansus terkesan dipaksakan lantaran baru tujuh fraksi yang mengutus wakilnya. Padahal, menurut Pasal 201 Ayat 3 Undang-Undang MD3 harus semua fraksi terwakili dalam pansus.
"Kalau itu dipaksakan berarti melanggar juga prosedur yang ada," ujar Mahfud.
Melemahkan
Di sisi lain, organisasi masyarakat sipil pegiat antikorupsi memandang hak angket bertujuan untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Mengingat KPK tengah mengusut beberapa kasus korupsi yang menyeret sejumlah anggota DPR.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina berpendapat bahwa pembentukan Pansus Hak Angket KPK sarat dengan konflik kepentingan. Pasalnya, sebagian besar anggota pansus tercatat sebagai sosok yang gencar mengusulkan revisi UU KPK.
Almas menuturkan, dari total 23 anggota pansus, 15 orang di antaranya menyetujui revisi UU KPK. Dia juga memandang usulan hak angket sangat terkait dengan kasus dugaan korupsi KTP elektronik atau E-KTP.
"Itu semua mengindikasikan adanya upaya mendelegtimasi atau melemahkan KPK. Patut dicurigai juga penyelidikan DPR ditujukan mengintervensi penanganan kasus E-KTP," ujar Almas, Minggu (11/6/2017).
(Baca: ICW Nilai Pembentukan Hak Angket Bertujuan Lemahkan KPK)
Namun, semua pendapat itu dibantah oleh Ketua Pansus Hak Angket Agun Gunandjar Sudarsa. Menurut dia, pembentukan pansus sudah sesuai dengan tata tertib dan UU MD3.
Agun pun menampik anggapan bahwa DPR ingin melemahkan KPK. Dia menegaskan bahwa DPR bermaksud mendefinisikan ulang posisi KPK dalam lingkup ketatanegaraan.
Menurut Agun, KPK belum menjalankan fungsi utamanya sebagai pemicu terhadap kinerja kepolisian dan kejaksaan dalam upaya pemberantasan korupsi.
KPK, kata Agun, justru lebih banyak menindak ketimbang melakukan koordinasi dan supervisi kepada kepolisian dan kejaksaan.
"Dia (KPK) sebagai trigger mechanism, bukan hanya ambil alih tapi juga mendorong supaya polisi dan kejaksaan bisa menjalankan tugas dan kewenangannya," kata Agun, Rabu (14/6/2017).
(Baca: Pansus Hak Angket Ingin Tata Ulang Fungsi KPK)