JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil survei Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa hak angket yang digulirkan DPR RI bukan merupakan hasil aspirasi rakyat.
Lantas, hak angket oleh wakil rakyat di Senayan itu justru mewakili siapa?
Pada survei yang dilakukan periode 14 Mei sampai 20 Mei 2017 dengan 1.350 responden tersebut, 65 persen responden menilai langkah DPR mengunakan hak angket terhadap KPK tidak dapat dibenarkan.
Hanya 29,5 persen responden yang menyatakan langkah DPR menggunakan hak angket bisa dibenarkan, sementara 5,6 persen responden yang tidak tahu atau tidak menjawab.
Direktur Program SMRC Sirojudin Abbas menyatakan, temuan ini menunjukkan publik menolak DPR menggunakan hak angket terhadap KPK. Padahal, lanjut Abbas, DPR dalam pengawasan terhadap pelaksana negara, termasuk KPK, harus menyalurkan aspirasi rakyat yang diwakilinya.
"DPR ternyata tidak mewakili aspirasi atau kepentingan rakyat. Rakyat umumnya (pada hasil survei) tidak membenarkan penggunaan hak angket untuk KPK. Lalu, DPR mewakili siapa?" kata Abbas, dalam pemaparan hasil survei bertema "Hak Angket DPR untuk KPK, Sebuah Penilaian Publik Nasional" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2017).
Responden yang tidak membenarkan langkah DPR mengajukan hak angket, ketika ditanya lebih jauh, mayoritas mengungkapkan bahwa langkah DPR tersebut karena ingin melindungi sesama anggota dari proses hukum di KPK. Sebanyak 51,6 persen menyatakan hal tersebut.
Sementara yang menilai hal itu bukan karena DPR ingin melindungi sesama anggota hanya 4,6 persen. Adapun yang tidak tahu dan tidak menjawab sebanyak 43,8 persen.
Sementara yang membenarkan langkah DPR menggunakan hak angket, ketika ditanya lebih jauh, mayoritas atau sebanyak 82 persen responden menganggap DPR ingin memastikan bahwa KPK telah melakukan proses hukum dengan benar.
Adapun yang menjawab tidak hanya 4,2 persen, sementara yang tidak tahu atau tidak menjawab sebanyak 13,7 persen.
(Baca: Survei SMRC: 65 Persen Publik Tolak DPR Gunakan Hak Angket untuk KPK)
Terlibat korupsi e-KTP
Sementara itu, mayoritas responden atau sebanyak 53,8 persen menyatakan yakin anggota DPR dan pejabat pemerintah terlibat kasus korupsi e-KTP. Hanya 9,1 persen saja yang tidak yakin. Sementara 37,1 persen responden tidak tahu atau tidak menjawab.
"Temuan ini menunjukkan mayoritas publik yakin anggota DPR dan pejabat terlibat dalam kasus e-KTP," ujar Abbas.
Abbas mengatakan, tingkat pengetahuan publik tentang sidang kasus e-KTP lewat pemberitaan pun tinggi. Sebanyak 62,8 persen responden menjawab tahu, sisanya 37,2 persen tidak tahu.
Selain itu, menurut survei ini, publik lebih percaya dengan KPK dibandingkan DPR dalam menjalankan wewenang masing-masing.
Mayoritas responden atau sebanyak 64,4 persen menjawab percaya KPK, dan hanya 6,1 persen yang percaya dengan DPR. Sementara yang tidak tahu atau tidak menjawab sebanyak 29,5 persen.
Kemudian dari sisi pemilih Presiden Joko Widodo maupun Prabowo Subianto, umumnya sama-sama lebih percaya terhadap KPK dibandingkan dengan DPR RI. Menurut Abbas, hasil ini perlu diperhatikan oleh tokoh-tokoh nasional yang akan maju bersaing untuk Pilpres 2019.
Dengan mengajukan pertanyaan terbuka atau tanpa daftar mengenai presiden yang dipilih, dari 34,1 persen pemilih Jokowi, sebanyak 68,1 persen di antara para pemilih Jokowi itu percaya dengan KPK. Hanya 4,4 persen yang percaya DPR, dan 27,4 persen tidak tahu atau tidak menjawab.
Sementara dari 17,2 persen pemilih Prabowo, sebanyak 76,4 persen dari pemilih Prabowo itu yang percaya KPK. Hanya 3,8 yang percaya DPR, dan 19,0 persen yang tidak tahu atau tidak percaya.
Sementara untuk 8,1 persen responden dengan pilihan presiden lainnya, sebanyak 67 persen percaya KPK, dan 7 persen percaya DPR, sedangkan yang tidak tahu atau tidak menjawab 26,0 persen.
Untuk 40,6 responden yang tidak tahu, tidak menjawab, atau merahasiakan pilihan presidennya, sebanyak 55,6 persen di antaranya lebih percaya dengan KPK. Hanya 8,3 persen yang percaya DPR, dan yang tidak tahu atau tidak menjawab 36,1 persen.
Kemudian responden yang diajukan pertanyaan semi terbuka, atau dengan daftar nama presiden yang dipilih, dari 41,7 persen pemilih Jokowi, sebanyak 64,2 persen lebih percaya KPK. Hanya 5,7 persen yang percaya DPR, sementara 30,2 persen tidak tahu atau tidak menjawab.
Sementara dari 23,9 persen pemilih Prabowo, sebanyak 72,3 persen di antaranya lebih percaya KPK sedangkan yang percaya DPR 6 persen. Yang tidak tahu atau tidak menjawab 21,7 persen.
Kemudian dari 22,3 pemilih presiden lainnya, sebanyak 64,3 persen di antaranya lebih percaya KPK. Hanya 8,8 persen yang percaya DPR dan yang tidak tahu atau tidak menjawab 26,9 persen.
Terakhir untuk 12,2 responden yang tidak tahu atau tidak menjawab pilihan presidennya, 49,7 persen di antaranya lebih percaya KPK dan hanya 2,9 persen yang percaya DPR. Yang tidak tahu atau tidak menjawab 47,4 persen.
(Baca juga: 132 Pakar Hukum Tata Negara Nilai Cacat Pembentukan Pansus Angket KPK)
Patokan
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho mengatakan, dari hasil survei SMRC tersebut, harusnya menjadi patokan politisi atau calon presiden yang akan datang. Mereka harus mendengarkan aspirasi publik yang tergambar dalam survei ini. "
Dengarkanlah aspirasi publik, publik masih percaya pada KPK, publik mempertanyakan soal hak angket ini," ujar Emerson, yang diundang pada acara survei tersebut.
Menurut Emerson, masih ada waktu bagi DPR untuk menarik dukungan hak angket terhadap KPK.
"Agar mereka tidak kehilangan dukungan oleh publik atau rakyat baik dalam pemilu legislatif, pilpres, maupun Pilkada 2018 yang akan datang," ujar Emerson.
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie mengatakan, rakyat akan berdiri untuk KPK dalam setiap upaya pelemahan lembaga antikorupsi itu.
"Setiap gerak-gerik yang ingin melemahkan KPK, civil society dan masyarakat yang akan berdiri paling depan untuk melakukan perlawanan itu," ujar Grace, di kesempatan yang sama.
Survei SMRC ini dilakukan pada periode 14 Mei sampai 20 Mei 2017. Metodologi yang digunakan dalam survei yakni multistage random sampling, dengan responden sebanyak 1.350 responden. Margin of error survei ini kurang lebih 2,5 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.