JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat intelijen Stepi Anriani mengatakan, proxy war memang berbahaya, sebab tidak dilakukan secara langsung oleh negara yang terlibat di dalamnya.
"Kita belakangan didengung-dengungkan dengan istilah proxy war, setelah Panglima TNI dalam berbagai pidato menyebut proxy war. Apa itu proxy war, (adalah) peperangan dengan menggunakan pihak ketiga," kata Stepi dalam diskusi "Pancasila, Terorisme, dan Proxy War" di Jakarta, Selasa (13/6/2017).
Stepi mengatakan, peperangan jenis ini bukan hanya dimainkan oleh aktor negara (state actor), melainkan juga non-state actor. Aktornya bisa lembaga internasional, lembaga bantuan, non government organization, hingga institusi pers.
Lebih lanjut Stepi mengatakan, di samping proxy war, ada bentuk peperangan lain yang dikenal dengan istilah asymmetric warfare dan cyber warfare.
Peperangan asimetris atau (asymmetric warfare) merupakan pertempuran dua pihak atau lebih untuk menguasai aset dan sumber daya, yang juga dilakukan dengan penguasaan nonmiliter atau cara lazim perang dilakukan.
Sedangkan cyber warfare merupakan peperangan yang dilakukan untuk menguasai potensi aset di dunia maya.
Menurut Stepi, jka tiga bentuk peperangan itu dilakukan bersamaan (proxy war, asymmetric warfare, cyber warfare), maka akan menjadi peperangan yang mengerikan.
"Jika ketiga elemen perang ini bersatu, maka itulah yang disebut hybrid warfare. Inilah peperangan yang lebih mematikan abad ini," kata Stepi.
(Baca juga: "Proxy War" Dinilai Ancaman Terbaru Indonesia pada Masa Depan)
Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo pernah menyatakan, saat ini proxy war mengancam Indonesia. Sehingga semua pihak harus bersatu dalam mencegah dan melawannya.
Dia mengatakan, dalam proxy war tidak bisa dilihat siapa lawan dan kawan, tetapi perang tersebut dikendalikan oleh negara lain. Ia menjelaskan, perang tanpa bentuk tersebut sudah terbukti, dengan kasus lepasnya Timor Timur dari NKRI.
Timor Timur diperebutkan oleh negara lain, karena di sana ada kekayaan SDA berupa greater sunrise yang letaknya antara Indonesia dan Timor-Timur.
Menurut dia, ada beberapa cara dalam mengatasinya, yakni modal NKRI yang mempunyai geografi daratan dan lautan yang kaya akan SDA agar dikelola dengan baik dan bermanfaat.
"Kemudian kita punya demografi, yakni kearifan lokal, yang juga harus dibarengi dengan revolusi mental, Pancasila sebagai pedoman hidup, serta dibutuhkan peran civitas dan akademika, serta mahasiswa dalam mencegahnya perang tanpa bentuk tersebut," kata Gatot.
(Baca:Panglima TNI: "Proxy War" Mengancam Indonesia)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.