JAKARTA, KOMPAS.com - Selasa (13/6/2017), mungkin merupakan hari yang tidak akan dilupakan mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Melihat latar belakang pendidikan dan jabatannya, keberadaan Patrialis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bukanlah hal yang aneh.
Namun, kedatangan Patrialis kali ini bukan untuk meninjau suasana pengadilan, apalagi memimpin suatu persidangan. Kemarin, Patrialis hadir sebagai terdakwa.
Patrialis yang biasa tampak gagah mengenakan toga merah-hitam itu kini hanya mengenakan batik hijau lengan pendek dengan celana panjang hitam.
Sekitar pukul 10.05 WIB, Patrialis didampingi seorang laki-laki berbadan tegap dan berambut pendek dengan kartu identitas berlogo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memasuki salah satu ruang sidang utama di Gedung Pengadilan.
Kedatangan Patrialis di dalam ruang sidang langsung disambut awak media. Patrialis tampak didampingi sejumlah kerabat dan anggota keluarganya.
Tak berapa lama, lima orang majelis hakim memasuki ruang sidang. Bersama pengunjung sidang lainnya, Patrialis ikut bangkit berdiri memberi tanda hormat pada hakim.
Setelah palu tanda persidangan dimulai diketuk, Ketua Majelis Hakim Nawawi Pamulango mempersilakan jaksa KPK untuk menghadirkan terdakwa.
"Kepada petugas, agar segera menghadirkan terdakwa Patrialis Akbar ke muka persidangan," ujar jaksa KPK Lie Setiawan.
(Baca: Patrialis Akbar Didakwa Menerima Suap dari Pengusaha Impor Daging)
Karier cemerlang
Di usianya yang hampir menginjak 60 tahun, Patrialis tersandung kasus suap. Sungguh ironis, Patrialis kini harus berpindah tempat duduk di kursi terdakwa.
Padahal, sebelum tersandung kasus suap, karier Patrialis Akbar terbilang cemerlang. Dia memulai kariernya di bidang hukum saat duduk sebagai anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Saat itu, Patrialis pernah terlibat dalam pembahasan amandemen konstitusi di Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pengabdiannya pada bidang hukum tak berhenti setelah menjadi anggota dewan. Di bidang politik, Patrialis pernah tergabung dalam Tim Sukses Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada 2009 sebagai anggota tim advokasi dan bantuan hukum.
Saat SBY terpilih sebagai presiden di periode kedua, ia kemudian dipercaya menjadi Menteri Hukum dan HAM Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.
Karier Patrialis di bidang hukum terbilang cukup lengkap. Pria asal Sumatera Barat itu adalah salah satu pejabat negara yang pernah menjabat di tiga cabang kekuasaan negara, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Pada 2013, lulusan S3 Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Pajajaran, Bandung tersebut terpilih menjadi salah satu Hakim Konstitusi. Sebutan "penjaga konstitusi" pun disematkan kepada Patrialis.
(Baca juga: Disebut Ditangkap Bersama Wanita, Patrialis Merasa Dibunuh Karakternya)
Kini, Patrialis tak bisa lagi menghirup udara bebas sejak lima bulan lalu. Tepat pada malam 25 Januari 2017, Patrialis ditangkap dalam sebuah operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK.
Patrialis didakwa menerima suap 70.000 dollar AS, Rp 4 juta dan dijanjikan uang sebesar Rp 2 miliar. Patrialis diduga menerima uang-uang tersebut dari seorang pengusaha impor daging bernama Basuki Hariman.
Menurut jaksa KPK, uang tersebut diberikan agar Patrialis membantu memenangkan putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015, terkait uji materi atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Patrialis sendiri berulang kali membantah tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Kepada majelis hakim kemarin, Patrialis kembali bersumpah tidak pernah menerima uang dalam perkara yang ia hadapi.
"Saya ingin mengatakan, demi Allah sampai ke Arsy, saya bertanggung jawab, tidak pernah satu rupiah pun saya terima uang dari Basuki dan Fenny," ujar Patrialis.
(Baca juga: Patrialis: Demi Allah, Tidak Pernah Satu Rupiah Pun Saya Terima Uang)