Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Pancasila di Tengah Musim Parade Massal

Kompas.com - 09/06/2017, 06:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAna Shofiana Syatiri

Mari kita menengok sepintas kronologis  beberapa peristiwa yang terjadi di depan Istana Merdeka, Jakarta, sejak Oktober sampai Desember 2016 lalu.

Jumat malam, 28 Oktober 2016, di halaman depan Istana Merdeka, Jakarta, berlangsung perhelatan seni budaya dengan nama "Indonesia Berdendang". Acara ini untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-88 dengan menampilkan petunjukan seni budaya dari berbagai suku dan etnis di Indonesia. Acara ini ditandai tiga panggung besar dan ditonton sekitar 5.000 orang.  "Bagus sekali. Koreografi bagus untuk panggung cukup lebar," kata Presiden Joko Widodo tentang acara ini, ketika itu.

KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI Massa demonstran bergerak menuju Istana Merdeka dan Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Jumat (4/11/2016). Massa menggelar aksi menuntut Polri untuk menegakkan hukum dan memproses Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terkait pernyataannya yang dinilai menyinggung umat muslim di Indonesia.
Tujuh hari kemudian, Jumat siang sampai petang, 4 November 2016, di pelataran tugu Monas yang berhadapan dengan Istana Merdeka, berlangsung aksi unjuk rasa massal  yang kemudian terkenal dengan sebutan peristiwa 411. Ketika aksi unjuk rasa berlangsung, saya berdiri di tepi jalan Merdeka Utara yang menempel pelataran taman Monas yang berhadapan dengan Istana Merdeka. Kebetulan saya jumpa seorang remaja asal Kemang, Jakarta Selatan, yang ikut dalam aksi ini. Saya tanya kepadanya alasannya ikut aksi ini. Jawabannya melenceng dari pertanyaan saya. "Unjuk rasa ini untuk tandingan acara Indonesia Berdendang," ujarnya.

Menjelang usainya aksi unjuk rasa ini, saya berdiri di depan kantor Kementerian Perhubungan, dan kontak lewat telepon genggam kepada seorang pengurus pusat  Partai Nasdem yang tinggal di wilayah dekat Kemang, juga untuk memberi kabar tentang banyaknya orang yang ikut dalam aksi unjuk rasa ini.

"Alaaa, pengunjuk rasanya Cuma 35.000 orang. Kecil itu," katanya dengan nada meremehkan. Ternyata dia baru saja baca berita dari medisa sosial yang memberitakan sumber intelijen menyebut jumlah pengunjuk rasa itu sekitar 35.000 orang.

Kemudian saya kontak dengan  seorang pengamat dan penulis soal politik sosial yang pernah berada di dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Saya sampaikan situasi aksi unjuk rasa ini.

"Unjuk rasa ini mempermudah kita memprediksi siapa yang akan menang dalam pemilihan gubernur Jakarta nanti," ujarnya saat itu.

Rabu, 30 November 2016, di pelataran Monas, di depan Istana Merdeka, berlangsung perhelatan massal yang disebut "Apel Nusantara Bersatu".

Kontributor Surabaya, Achmad Faizal Apel Nusantara Bersatu di Surabaya diikuti massa lintas agama dan komunitas, Rabu (30/11/2016).
Dua  hari kemudian, Jumat siang, 2 Desember  2016, di tengah hujan, berlangsung aksi unjuk rasa massal yang juga terkenal dengan nama Peristiwa  212. Presiden Joko Widodo bersama para stafnya hadir di panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk aksi ini.

Pada Minggu pagi, 4 Desember 2016, berlangsung pawai atau parade kebudayaan Nusantara  dengan nama "Kita Indonesia" dari Bunderah HI sampai pelataran Monas, Jakarta. Di acara ini muncul lambang-lambang Partai Nasdem dan Partai Golkar. Acara berbungkus seni budaya ini juga menimbulkan banyak sampah dan tanaman di jalur hijau rusak sehingga muncul teguran dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Menjelang Desember akhir 2016, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, acara ulang tahun PDI Perjuangan ke-44 tahun, 10 Januari 2017, antara lain akan ditandai dengan pawai atau parade budaya di Jakarta. Tapi rencana itu batal dan dijadwalkan ulang lagi pada 1 Juni 2017. Itu pun dibatalkan lagi. Pembatalan ini dianggap banyak pengamat sosial politik cukup bijaksana.

Rentetan acara aksi unjuk rasa massa pada Oktober sampai Desember2016 itu berlanjut secara latah sampai kini, baik digelar dengan terus terang untuk tujuan politik maupun yang dibungkus dengan kemas pawai atau parade seni budaya, termasuk aksi sejuta karangan bunga dan lilin bernyala.   

Mengomentari kronologi peristiwa aksi massal berbagai bentuk ini, peneliti dan pengamat senior bidang sosial politik dari Lembaga Ilmpu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, di Jakarta, Kamis 8 Juni 2017, kemarin, mengkaitkan hal itu dengan tindak politisasi berbagai bidang kehidupan kemasyarakatan sejak masa pemerintahan diktatur Orde Baru.

Waktu itu, politisasi berbagai bidang kehidupan dilakukan dengan penuh tekanan dan tersembunyi di bawah permukaan secara strategis dan sistematis. Ia memandingkan gerak kontemplatif para pendiri bangsa dan Negara ini di masa menjelang kemerdekaan sampai awal kemerdekaan RI.

"Waktu masa ini banyak negarawan dan filsuf Negara. Di masa Orde Baru para penguasa  lebih pragmatis," ujar Siti Zuhro.

Suasana tertekan selama 30 tahun lebih itu meletup setelah tahun 1998, gerakan reformasi. Letupan-letupan terus terjadi sebagai eforia hingga kini setelah 19 tahun.

"Aksi-aksi masa, baik unjuk rasa dengan warna keagamaan maupun budaya yang diorganisir siapa pun saat ini saat ini cukup berbahaya dan bisa menjadi benturan massal," ujarnyanya.


Senada dengan itu, budayawan Garin Nugroho sering mengkritisi kebijakan budaya pemerintahan Presiden Joko Widodo, antara lain mengatakan, politik Indonesia saat ini adalah kumulasi suara massa menyingkirkan individu dan kualitas perorangan. Dampak politik ini, katanya, sampai menyentuh  keseharian masyarakat  yang disebut budaya.

Kemudian ia mengatakan, boleh muncul dengan menari dan menyanyi massal, tapi jangan lupa budaya adalah sensitivitas terkecil kemanusiaan terhadap jaman dan perubahan. Melakukan kerja Pancasila lewat budaya  harus memahami hal itu.

"Bukan sekadar unjuk massa dan follower atau pengikut yang tanpa strategi kebangsaan yang bisa melahirkan fanatisme makin tebal," ujarnya.

Sosialisasi Pancasila, kata Garin, seharusnya bukan dengan cara fanatisme yang menimbulkan fanatisme lain.

Direktur lembaga  PARA Syndicate di Jakarta Selatan, Ari Nurcahyo mengatakan, pembumian Pancasila jangan hanya gelar seremonial atau hanya memanggungkan Pancasila tetapi lupa  pokok terpentingnya, yaitu memandukan (tandem) antara "pengalaman" cita-cita luhur dengan pengalaman sehari-hari.

Direktur Eksekutif Institut Peradaban di Jakarta, Ichan Loulembah, mengatakan, tindak artifisial berlebihan dalam pawai atau parade tidak banyak menolong. Katanya, kebinekaan yang sudah hadir sejak kita lahir sudah menjadi kenyataan sehari-hari. Yang terjadi sekarang, katanya, cuma  perlombaan dalam kontestasi politik dan ketimpangan dalam proses  ekonomi.

"Aneka pawai dan perayaan seremonial kebinekaan, apalagi diselenggarakan secara demonstrative hanya akan terasa karikatural," ujar Ichan Looulembah  yang juga sebagai anggota dewan Pembina Institut Harkat Negeri itu.

Latah gerak massal dengan segala kemasan seni budaya bukan hanya tampak karikatural, tetapi seperti dikatakan oleh Siti Zuhro, bisa membuka benturan massal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com