Mari kita menengok sepintas kronologis beberapa peristiwa yang terjadi di depan Istana Merdeka, Jakarta, sejak Oktober sampai Desember 2016 lalu.
Jumat malam, 28 Oktober 2016, di halaman depan Istana Merdeka, Jakarta, berlangsung perhelatan seni budaya dengan nama "Indonesia Berdendang". Acara ini untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-88 dengan menampilkan petunjukan seni budaya dari berbagai suku dan etnis di Indonesia. Acara ini ditandai tiga panggung besar dan ditonton sekitar 5.000 orang. "Bagus sekali. Koreografi bagus untuk panggung cukup lebar," kata Presiden Joko Widodo tentang acara ini, ketika itu.
Menjelang usainya aksi unjuk rasa ini, saya berdiri di depan kantor Kementerian Perhubungan, dan kontak lewat telepon genggam kepada seorang pengurus pusat Partai Nasdem yang tinggal di wilayah dekat Kemang, juga untuk memberi kabar tentang banyaknya orang yang ikut dalam aksi unjuk rasa ini.
"Alaaa, pengunjuk rasanya Cuma 35.000 orang. Kecil itu," katanya dengan nada meremehkan. Ternyata dia baru saja baca berita dari medisa sosial yang memberitakan sumber intelijen menyebut jumlah pengunjuk rasa itu sekitar 35.000 orang.
Kemudian saya kontak dengan seorang pengamat dan penulis soal politik sosial yang pernah berada di dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Saya sampaikan situasi aksi unjuk rasa ini.
"Unjuk rasa ini mempermudah kita memprediksi siapa yang akan menang dalam pemilihan gubernur Jakarta nanti," ujarnya saat itu.
Rabu, 30 November 2016, di pelataran Monas, di depan Istana Merdeka, berlangsung perhelatan massal yang disebut "Apel Nusantara Bersatu".
Pada Minggu pagi, 4 Desember 2016, berlangsung pawai atau parade kebudayaan Nusantara dengan nama "Kita Indonesia" dari Bunderah HI sampai pelataran Monas, Jakarta. Di acara ini muncul lambang-lambang Partai Nasdem dan Partai Golkar. Acara berbungkus seni budaya ini juga menimbulkan banyak sampah dan tanaman di jalur hijau rusak sehingga muncul teguran dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Menjelang Desember akhir 2016, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, acara ulang tahun PDI Perjuangan ke-44 tahun, 10 Januari 2017, antara lain akan ditandai dengan pawai atau parade budaya di Jakarta. Tapi rencana itu batal dan dijadwalkan ulang lagi pada 1 Juni 2017. Itu pun dibatalkan lagi. Pembatalan ini dianggap banyak pengamat sosial politik cukup bijaksana.
Rentetan acara aksi unjuk rasa massa pada Oktober sampai Desember2016 itu berlanjut secara latah sampai kini, baik digelar dengan terus terang untuk tujuan politik maupun yang dibungkus dengan kemas pawai atau parade seni budaya, termasuk aksi sejuta karangan bunga dan lilin bernyala.
Mengomentari kronologi peristiwa aksi massal berbagai bentuk ini, peneliti dan pengamat senior bidang sosial politik dari Lembaga Ilmpu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, di Jakarta, Kamis 8 Juni 2017, kemarin, mengkaitkan hal itu dengan tindak politisasi berbagai bidang kehidupan kemasyarakatan sejak masa pemerintahan diktatur Orde Baru.
Waktu itu, politisasi berbagai bidang kehidupan dilakukan dengan penuh tekanan dan tersembunyi di bawah permukaan secara strategis dan sistematis. Ia memandingkan gerak kontemplatif para pendiri bangsa dan Negara ini di masa menjelang kemerdekaan sampai awal kemerdekaan RI.
"Waktu masa ini banyak negarawan dan filsuf Negara. Di masa Orde Baru para penguasa lebih pragmatis," ujar Siti Zuhro.
Suasana tertekan selama 30 tahun lebih itu meletup setelah tahun 1998, gerakan reformasi. Letupan-letupan terus terjadi sebagai eforia hingga kini setelah 19 tahun.
"Aksi-aksi masa, baik unjuk rasa dengan warna keagamaan maupun budaya yang diorganisir siapa pun saat ini saat ini cukup berbahaya dan bisa menjadi benturan massal," ujarnyanya.
Senada dengan itu, budayawan Garin Nugroho sering mengkritisi kebijakan budaya pemerintahan Presiden Joko Widodo, antara lain mengatakan, politik Indonesia saat ini adalah kumulasi suara massa menyingkirkan individu dan kualitas perorangan. Dampak politik ini, katanya, sampai menyentuh keseharian masyarakat yang disebut budaya.
Kemudian ia mengatakan, boleh muncul dengan menari dan menyanyi massal, tapi jangan lupa budaya adalah sensitivitas terkecil kemanusiaan terhadap jaman dan perubahan. Melakukan kerja Pancasila lewat budaya harus memahami hal itu.
"Bukan sekadar unjuk massa dan follower atau pengikut yang tanpa strategi kebangsaan yang bisa melahirkan fanatisme makin tebal," ujarnya.
Sosialisasi Pancasila, kata Garin, seharusnya bukan dengan cara fanatisme yang menimbulkan fanatisme lain.
Direktur lembaga PARA Syndicate di Jakarta Selatan, Ari Nurcahyo mengatakan, pembumian Pancasila jangan hanya gelar seremonial atau hanya memanggungkan Pancasila tetapi lupa pokok terpentingnya, yaitu memandukan (tandem) antara "pengalaman" cita-cita luhur dengan pengalaman sehari-hari.
Direktur Eksekutif Institut Peradaban di Jakarta, Ichan Loulembah, mengatakan, tindak artifisial berlebihan dalam pawai atau parade tidak banyak menolong. Katanya, kebinekaan yang sudah hadir sejak kita lahir sudah menjadi kenyataan sehari-hari. Yang terjadi sekarang, katanya, cuma perlombaan dalam kontestasi politik dan ketimpangan dalam proses ekonomi.
"Aneka pawai dan perayaan seremonial kebinekaan, apalagi diselenggarakan secara demonstrative hanya akan terasa karikatural," ujar Ichan Looulembah yang juga sebagai anggota dewan Pembina Institut Harkat Negeri itu.
Latah gerak massal dengan segala kemasan seni budaya bukan hanya tampak karikatural, tetapi seperti dikatakan oleh Siti Zuhro, bisa membuka benturan massal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.