Polri sudah memiliki Densus 88. Namun, dengan berkembangnya teknologi dan juga taktik serta teknik anggota jaringan NIIS, seperti Kelompok Santoso di Poso, tentunya perlu optimalisasi melalui pengerahan militer yang tetap harus memperhatikan HAM dan hukum yang berlaku. Dengan agenda reformasi yang digulirkan sejak 2004, TNI telah banyak berbenah. Dalam sejumlah jajak pendapat, TNI justru jadi institusi paling dipercaya publik. Ini jadi kapital bagi TNI yang harus dijaga dengan baik.
Selanjutnya, sinergisitas dalam penanggulangan terorisme bukan hanya melibatkan aparat penegak hukum dan militer. Proses deradikalisasi guna mengatasi akar masalah terorisme butuh kolaborasi semua pemangku kepentingan. Kolaborasi harus mewadahi pendekatan berbasis muatan lokal. Gagalnya AS dalam sejumlah misi karena tak memahami budaya lokal. Mayoritas global war on terror dilakukan di luar wilayah negaranya.
Untuk Indonesia, konteksnya berbeda. Sejarah kelam separatis DI/TII yang berhasil dibasmi militer bersama masyarakat melalui operasi pagar betis adalah contoh keberhasilan sinergisitas. Ideologi NIIS untuk mendirikan khilafah tak jauh berbeda dengan DI/TII yang tentunya bertentangan dengan Pancasila, ideologi negara. Karena itu, NIIS perlu dicermati di mana pelibatan semua komponen menjadi penting, termasuk militer. Berkaca dari pengalaman sejumlah negara demokrasi dalam penanggulangan terorisme, penggunaan militer bukanlah hal yang tabu.
Payung hukum sah menjadi prioritas untuk melegitimasi pengerahan militer. Finalisasi revisi RUU Terorisme termasuk turunan dari UU No 34/2004 penting untuk memandu mekanisme pelaksanaan di lapangan. Payung hukum akan menghilangkan keraguan bertindak. Satuan-satuan militer yang berkompeten dalam penanggulangan terorisme seperti Kopassus dengan unit Gultor-nya, Kostrad dengan Para Raider dan Taipur-nya, ataupun satuan Raider terpilih di Kotama dapat diberdayakan di samping intelijen dan unit militer lain. Tentunya ini bukan berarti semua satuan TNI harus beraksi.
Pengerahan TNI dalam penanggulangan terorisme menjadi sebuah urgensi bagi Indonesia. Kecermatan Presiden merekomendasikan pelibatan TNI dan sejumlah usulan dari parlemen termasuk TNI menjadi faktor yang dapat memuluskan proses ini, apalagi dari Polri juga memberikan pandangan positif akan pentingnya pelibatan TNI. Namun, finalisasinya tidaklah mudah. Mencermati perkembangan NIIS di kawasan, di mana aksinya di Marawi dekat dengan Indonesia, pemerintah perlu segera mematangkan persiapan.
Kita tak ingin menunggu terjadinya aksi teror, seperti di Manchester, Kampung Melayu, dan Marawi, terlebih dulu untuk kemudian melegitimasi pengerahan militer. Jika skenario ini yang terjadi bisa dibayangkan berapa banyak warga sipil harus jadi korban. Penangkalan dengan kesinergian pemangku kepentingan terkait termasuk militer menjadi urgensi guna meminimalisasi collateral damage dari aksi-aksi NIIS di Tanah Air. Kepentingan nasional adalah mutlak. Jaringan terorisme yang berafiliasi dengan NIIS adalah ancaman nyata bagi pertahanan dan keamanan negara yang harus segera ditumpas. Utuhnya wilayah NKRI dan tetap tegaknya kedaulatan adalah fundamental bagi Indonesia. Di ranah ini, TNI mutlak diperlukan guna mengoptimalkan penanggulangan terorisme nasional.
(Baca juga: Publik Setuju TNI Dilibatkan dalam Berantas Terorisme, tetapi...)
Frega Wenas Inkiriwang,
Dosen Unhan dan Awardee LPDP; Tengah Menempuh Program PhD di The London School of Economics and Political Science, Inggris
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Juni 2017, di halaman 7 dengan judul "Urgensi Pelibatan TNI".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.