Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/06/2017, 16:55 WIB

oleh: Frega Wenas Inkiriwang

Beberapa tahun terakhir, Negara Islam di Irak dan Suriah telah menjadi ancaman keamanan global.

Bahkan, akhir-akhir ini, NIIS berhasil menguasai Marawi, sebuah kota di Filipina selatan, serta menyandera penduduk yang bermukim di sana. Presiden Duterte pun mengerahkan militer untuk menghadapinya.

Filipina terkenal keras dengan penegakan hukum. Masih hangat di ingatan kita ketika polisi memburu para bandar dan pemakai narkoba secara membabi buta. Ribuan orang tewas ditembak oleh polisi Filipina. Bahkan, putri seorang mafia, Maria Moynihan, yang memiliki status dwiwarga negara, Inggris dan Filipina, ikut jadi sasaran tembak karena terlibat dalam peredaran narkoba.

Namun, ketika menghadapi teroris seperti NIIS, polisi selaku aparat penegak hukum tak mampu membendungnya. Apalagi NIIS yang ditengarai bergabung dengan kelompok separatis pimpinan Maute telah mengeksekusi kepala polisi. Presiden pun mengumumkan keadaan darurat dan mengerahkan militer. Kolaborasi militan dengan jaringan NIIS menambah peliknya penanggulangan terorisme di Filipina. Wajar jika kemudian Duterte menggerakkan militer beserta alutsistanya untuk membabat jaringan NIIS di Marawi.

Praktik di banyak negara

Jarak Marawi hanya beberapa ratus kilometer dari wilayah paling utara Indonesia. Luasnya wilayah lautan di perbatasan kedua negara sangat memungkinkan penyusupan oleh jaringan NIIS di sana menuju wilayah Indonesia. Jika ini terjadi, tentu akan menimbulkan potensi konflik baru. Bukan tak mungkin skenario Ambon atau Poso berulang mengingat mayoritas penduduk Sulawesi Utara non-Muslim. Kehadiran Kodam XIII/Merdeka yang diresmikan beberapa waktu lalu merupakan sebuah keputusan pemerintah yang sangat tepat mengantisipasi hal ini.

Namun, dalam penanggulangan terorisme, ada beberapa kendala yang menghambat inter- agency approach di lapangan. Menanggulangi terorisme bukanlah sekadar tanggung jawab aparat penegak hukum, seperti kepolisian. Dengan kompleksitas yang ada dan maraknya aksi lintas negara, terorisme bukan lagi hanya berkutat seputar pidana, melainkan lebih pada sebuah kejahatan terhadap negara.

Inggris saja setelah insiden bom Manchester langsung mengerahkan 1.000 lebih personel militernya, dari satuan pasukan khusus Special Air Service (SAS) dan satuan elite lintas udara, Parachute Regiment. Pengerahan pasukan bersandi Operasi "Temperer" ini diorientasikan untuk mengoptimalkan antisipasi terhadap aksi terorisme susulan berdasarkan laporan intelijen.

AS pun sudah sejak lama mengerahkan militer dalam penanggulangan terorisme. Terlepas keberadaan Posse Comitatus Act, Pemerintah AS telah merevisi konteks pengerahan militer dalam menangani aksi terorisme di dalam negeri yang sebelumnya sangat dibatasi. Memang cukup unik karena AS mengedepankan prinsip forward defence untuk menghancurkan lawan-lawan di negaranya sebelum jadi ancaman di wilayah AS. Berkaca dari serangan teroris di World Trade Center (2001), AS memandang perlu pemberdayaan semua komponen, termasuk militer, dalam menanggulangi terorisme.

Di Tanah air, sejauh ini TNI hanya diberikan payung hukum UU Nomor 34 Tahun 2004 yang menyebutkan tugas pokoknya untuk menanggulangi aksi terorisme di Indonesia. Kini muncul wacana untuk memberikan kewenangan bagi TNI melalui RUU tentang perubahan UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Presiden Jokowi pun menginstruksikan agar TNI dimasukkan dalam skema penanggulangan terorisme. Tentu usulan ini bukan tanpa kontroversi. Sejumlah kalangan di parlemen dan akademisi mengkhawatirkan akan terjadinya pelanggaran HAM oleh TNI jika dilibatkan.

Kita harus bijak menyikapi. Berbicara manajemen negara bukanlah hanya seputar dikotomi antara pendekatan justice-based atau military-based dalam menangani masalah terorisme yang memfokuskan dominasi peran polisi dan tentara. TNI hingga saat ini memiliki rekam jejak mendunia dalam aksi penanggulangan terorisme. Pembebasan sandera Woyla di Thailand dan pembebasan sandera di Mapenduma oleh satuan elite Kopassus yang berkolaborasi dengan satuan Para Raider Kostrad mengejutkan dunia akan kiprah militer Indonesia dalam penanggulangan terorisme.

Belakangan ini NIIS semakin meningkatkan aksinya di Asia Tenggara dan menjadi potensi ancaman keamanan negara. Apalagi Marawi jaraknya tak jauh dan sejumlah WNI bergabung dengan kelompok NIIS di sana. Dengan kondisi ini, Indonesia perlu mengantisipasi meluasnya aksi NIIS di Tanah Air. Kita tak ingin terjadi lagi aksi-aksi bom bunuh diri seperti yang menewaskan tiga polisi di Kampung Melayu, 24 Mei lalu.

(Baca juga: Tanpa Revisi UU, TNI Bisa Dilibatkan dalam Pemberantasan Terorisme)

Sejumlah pertimbangan

Ada sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun skema pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme.  Pertama, identifikasi skenario pelibatan TNI harus jelas, kapan Polri bergerak independen, kapan TNI mulai di-BKO-kan, dan kapan TNI dapat bergerak independen. Jika Polri memiliki keterbatasan sumber daya, harus disiapkan skema pelibatan TNI untuk mengantisipasi kerugian yang meluas dengan terjadinya aksi terorisme.

Halaman:


Terkini Lainnya

Bappilu PPP Sudah Dibubarkan, Nasib Sandiaga Ditentukan lewat Muktamar

Bappilu PPP Sudah Dibubarkan, Nasib Sandiaga Ditentukan lewat Muktamar

Nasional
Yusril Anggap Barang Bukti Beras Prabowo-Gibran di Sidang MK Tak Buktikan Apa-apa

Yusril Anggap Barang Bukti Beras Prabowo-Gibran di Sidang MK Tak Buktikan Apa-apa

Nasional
Panglima TNI Tegaskan Operasi Teritorial Tetap Dilakukan di Papua

Panglima TNI Tegaskan Operasi Teritorial Tetap Dilakukan di Papua

Nasional
TNI Kembali Pakai Istilah OPM, Pengamat: Cenderung Pakai Pendekatan Operasi Militer dalam Mengatasinya

TNI Kembali Pakai Istilah OPM, Pengamat: Cenderung Pakai Pendekatan Operasi Militer dalam Mengatasinya

Nasional
Tim Hukum Ganjar-Mahfud Tetap Beri Angka Nol untuk Perolehan Suara Prabowo-Gibran

Tim Hukum Ganjar-Mahfud Tetap Beri Angka Nol untuk Perolehan Suara Prabowo-Gibran

Nasional
Soal Bantuan Presiden, Kubu Ganjar-Mahfud: Kalau Itu Transparan, kenapa Tak Diumumkan dari Dulu?

Soal Bantuan Presiden, Kubu Ganjar-Mahfud: Kalau Itu Transparan, kenapa Tak Diumumkan dari Dulu?

Nasional
Minta MK Kabulkan Sengketa Hasil Pilpres, Kubu Anies: Kita Tidak Rela Pemimpin yang Terpilih Curang

Minta MK Kabulkan Sengketa Hasil Pilpres, Kubu Anies: Kita Tidak Rela Pemimpin yang Terpilih Curang

Nasional
Mardiono Jajaki Pertemuan dengan Prabowo Setelah Putusan MK

Mardiono Jajaki Pertemuan dengan Prabowo Setelah Putusan MK

Nasional
Mardiono Sebut Ada Ajakan Informal dari PAN dan Golkar Gabung ke Koalisi Prabowo-Gibran

Mardiono Sebut Ada Ajakan Informal dari PAN dan Golkar Gabung ke Koalisi Prabowo-Gibran

Nasional
Jokowi Bertemu Bos Apple di Istana Besok Pagi, Akan Bahas Investasi

Jokowi Bertemu Bos Apple di Istana Besok Pagi, Akan Bahas Investasi

Nasional
Otto Hasibuan Sebut Kubu Anies dan Ganjar Tak Mau Tahu dengan Hukum Acara MK

Otto Hasibuan Sebut Kubu Anies dan Ganjar Tak Mau Tahu dengan Hukum Acara MK

Nasional
Sekjen PDI-P Ungkap Bupati Banyuwangi Diintimidasi, Diperiksa Polisi 6 Jam

Sekjen PDI-P Ungkap Bupati Banyuwangi Diintimidasi, Diperiksa Polisi 6 Jam

Nasional
Menteri ESDM Jelaskan Dampak Konflik Iran-Israel ke Harga BBM, Bisa Naik Luar Biasa

Menteri ESDM Jelaskan Dampak Konflik Iran-Israel ke Harga BBM, Bisa Naik Luar Biasa

Nasional
Jawab PAN, Mardiono Bilang PPP Sudah Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Jawab PAN, Mardiono Bilang PPP Sudah Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Nasional
Kubu Anies-Muhaimin: Ada Fakta Tak Terbantahkan Terjadi Nepotisme Gunakan Lembaga Kepresidenan

Kubu Anies-Muhaimin: Ada Fakta Tak Terbantahkan Terjadi Nepotisme Gunakan Lembaga Kepresidenan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com