JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai menilai rangkap jabatan semestinya tidak lagi diterapkan. Selain menyalahi peraturan perundang-undangan, rangkap jabatan juga tidak efektif karena mengganggu kinerja yang berdampak pada pelayanan publik.
"Tugas pelayanan publik sangat berpotensi terabaikan," kata Amzulian dalam diskusi "Rangkap Jabatan PNS dan Komisaris BUMN: Menyoal Profesionalisme ASN" di Kantor Lembaga Administrasi Negara (LAN), Jakarta Pusat, Selasa (6/6/2017).
Amzulian memberi contoh seorang komisaris perusahaan BUMN yang juga sebagai rektor. Sedikit banyak, pekerjaannya sebagai pengajar akan terabaikan.
Persoalan lainnya, jika ASN rangkap jabatan maka akan timbul kecemburuan sosial sesama rekan kerja. Hal ini lantaran seseorang yang rangkap jabatan akan mendapat pemasukan dari dua jabatan yang diembannya.
"Kadang lebih dari satu perusahaan, bahkan double income atau mungkin triple income. Ini tidak fair karena tidak mungkin setiap pejabat kebagian," kata Amzulian.
(Baca juga: Rangkap Jabatan Berpotensi Munculkan Tindakan Koruptif)
Amzulian berharap, aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik agar dilaksanakan.
UU tersebut secara tegas melarang pelaksana pelayanan publik, termasuk pejabat pemerintah atau ASN menjadi komisaris BUMN. Jika melanggar, maka ASN tersebut sedianya diberikan sanksi pemebebasan dari jabatannya.
"Solusinya, harus tegas mengikuti peraturan perundang-undangan. Kalau menyatakan tak boleh rangkap jabatan, ya jangan cari alasan lagi," ujarnya.
Untuk diketahui Ombudsman RI mengidentifikasi bahwa dari 144 unit BUMN telah ditemukan sebanyak 222 komisaris yang merangkap jabatan sebagai pelaksana publik, atau 41 persen dari total 541 komisaris.