JAKARTA, KOMPAS.com - Fenomena ujaran kebencian, fitnah hingga kabar bohong di media sosial bukan gejala bahwa masyarakat Indonesia tidak menghargai perbedaan.
Demikian disampaikan Presiden Joko Widodo dalam wawancara khusus dengan tim Kompas.com di Ruangan Oval, Istana Merdeka, Jakarta, Senin (5/6/2017).
Menurut Jokowi, fenomena itu merupakan imbas negatif dari keterbukaan informasi.
"Enggak (karena tidak menghargai keberagaman). Ini karena keterbukaan dengan adanya media sosial," ujar Jokowi.
(baca: MUI Terbitkan Fatwa Pemakaian Media Sosial, Ada 5 Hal yang Diharamkan)
Sebab, dengan media sosial, siapa saja dapat menyampaikan informasi serta pendapat pribadi secara terbuka.
Jokowi yang aktif di media sosial adalah tipe pengguna media sosial yang lebih senang menyampaikan informasi.
Misalnya, setiap dia kunjungan kerja ke daerah, beberapa kali Jokowi menyampaikan di laman media sosialnya.
"Saya sampaikan, misalnya, baru nge-trail nih di Papua, dan semuanya bisa melakukan itu," ujar Jokowi.
(baca: Ini Tindakan yang Diharamkan MUI dalam Bermedia Sosial)
Di sisi lain, ada juga pengguna media sosial yang lebih senang mengemukakan pendapat. Pendapat itu lalu mempertajam perbedaan dengan orang lain. Respons orang terhadap tajamnya perbedaan tersebut pun berbeda-beda.
"Itulah kejadian yang sekarang ini. Kadang-kadang kita menyampaikan hal yang tidak benar di situ atau fitnah di situ. kadang-kadang orang yang menerima itu ada yang siap, ada yang enggak siap," ujar Jokowi.
"Masih ada sebagian kecil yang waswas, ada sebagian kecil yang masih tersinggung, ada sebagian kecil yang merasa adanya kabar seperti itu lalu membuat reaksi yang berlebihan, saya kira memang inilah ya keterbukaan yang kita hadapi," lanjut dia.
(baca: Pemerintah Akan Tindaklanjuti Rekomendasi Fatwa MUI soal Media Sosial)
Dengan demikian, gesekan kecil di era keterbukaan informasi seperti ini tidak bisa terelakkan alias wajar terjadi.