JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Oesman Sapta Odang terkait penggunaan anggaran di internal DPD, dinilai berpotensi menimbulkan korupsi.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, setidaknya ada dua hal yang menyebabkan kebijakan Oesman berpotensi menimbulkan korupsi.
Pertama, menurut Oesman, terjadinya dualisme kepemimpinan, di mana selain sebagai Ketua DPD, Oesman juga menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
(Baca: Dana Reses 23 Anggota DPD Dibekukan, Ini Penjelasan Oesman Sapta)
"Dualisme ini tidak hanya persoalan tata negara, tapi ada peluang besar terjadinya tindak pidana korupsi," ujar Donal dalam konferensi pers di Kantor ICW Kalibata, Jakarta, Minggu (21/5/2017).
Menurut Donal, dua jabatan pimpinan di dua lembaga negara dapat menimbulkan duplikasi anggaran. Sebagai contoh, Oesman bisa mendapat dua fasilitas dan dua tunjangan dari dua lembaga yang berbeda.
"Pejabat publik dilarang menerima dana yang bersamaan dari dua lembaga. Misalnya, dalam perjalanan dinas, biaya Oesman dicover oleh DPD dan MPR," kata Donal.
Kedua, menurut Donal, potensi korupsi dapat terjadi akibat timbulnya kerugian negara. Hal ini dikaitkan dengan status kepemimpinan Oesman yang dianggap ilegal.
(Baca: Tolak Oesman Sapta, 23 Anggota DPD Dana Resesnya Dibekukan)
Dengan status jabatan yang ilegal, menurut Donal, segala kebijakan anggaran yang diputuskan oleh Oesman dapat disebut sebagai kerugian negara.
Polemik jabatan pimpinan di DPD bermula dari adanya Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Nomor 1 Tahun 2017 yang salah satunya mengatur masa jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi dua tahun enam bulan.
Pada 30 Maret, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan yang isinya membatalkan kedua Tata Tertib DPD itu.
Namun, pada awal April, sebagian anggota DPD tetap menjalankan pemilihan hingga dini hari dan menetapkan Oesman Sapta sebagai Ketua DPD. Sebagian anggota DPD kemudian pengangkatan Oesman adalah tindakan ilegal.