KOMPAS.com – Pada suatu masa di tanah Indonesia, sekolah dokter tak cuma menghasilkan juru penyembuh orang sakit.
Ada sekian banyak "produk" sekolah dokter pada suatu masa itu adalah orator ulung, penulis dan wartawan andal, serta pemimpin kharismatik yang meletakkan fondasi bagi keberadaan Indonesia sekarang.
Inilah cerita tentang Sekolah Dokter Jawa, yang lalu berubah nama menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) ketika muridnya tak lagi hanya berasal dari kalangan priyayi Jawa.
Ini juga cerita soal Geneeskundige Hoge School (GHS) alias Sekolah Tinggi Kedokteran di Batavia, nama lama dari Jakarta.
Jejak kedua sekolah itu tak cuma pengabadian nama Tjipto Mangunkusumo menjadi label rumah sakit umum pusat milik pemerintah di bilangan Salemba, Jakarta Pusat.
Ada banyak nama murid sekolah itu yang punya kiprah sama besarnya dengan Tjipto, baik yang lulus maupun drop out.
Sengatan gerakan kebangkitan bangsa yang berpusar dari kedua sekolah itu juga sampai pada sosok seperti Douwes Dekker. Dia bukan jebolan STOVIA atau GHS, melainkan tinggal di kawasan yang sama dengan sekolah dokter itu.
Sosok yang lekat dengan pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantoro, juga pernah mencicipi sekolah dokter ini, meski tak sampai lulus. Penulis roman Salah Asuhan, Abdul Moeis, pernah pula mencecap rasanya jadi eleve—murid—STOVIA.
Bahkan, Abdul Rivai yang dianggap sebagai Bapak Jurnalistik Indonesia, punya titel Indisch Arts, gelar dokter lulusan STOVIA.
Sosok inilah yang mendirikan majalah Bintang Hindia selama belajar di Belanda untuk mendapatkan gelar Euopees Arts, yang terbit pada 1902-1906. Rivai juga sempat berkelana di sejumlah negara di Eropa pada pengujung 1920-an.
Selama masa pengelanaan tersebut, Rivai rajin memantau dan mencatat kiprah anak-anak muda Indonesia yang sedang belajar di luar negeri, seperti Mohammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamontjak, Abdul Madjid, dan Arnold Monoutu.
Catatan Rivai rutin dikirimkan untuk diterbitkan di koran Tjahaja Timoer. Kumpulan tulisan tersebut kemudian menjadi bahan buku Student Indonesia di Eropa, diterbitkan oleh Kelompok Penerbit Gramedia pada 2000.
Dari wartawan sampai jago diplomasi dan keuangan
Cerita ringkas tentang sosok-sosok itu renyah mengalir lewat tulisan Rosihan Anwar di jilid ketiga buku Sejarah Kecil Indonesia.
Sekolah Dokter Jawa berdiri pada 1851, sebagai bagian dari politik etis Belanda di tanah jajahannya pada waktu itu, berdasarkan keputusan Gubernemen Hindia Belanda Nomor 2 yang terbit pada 2 Januari 1849.
Lulusan pertama sekolah ini dihasilkan pada 1856. Gelar lulusan pertama ini disebut "Dokter Jawa".
Pada tahun yang sama, pintu bagi murid dari luar Jawa dibuka. Mayoritas anak-anak muda dari Minangkau ada pada deretan pertama murid sekolah dokter di Batavia yang bukan orang Jawa.