Korupsi
Salah satunya, terkait pandangan publik atas kinerja DPR. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, menilai, 560 anggota DPR yang ada sekarang belum optimal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.
Dalam banyak kasus, anggota DPR justru lebih tunduk pada keputusan partai politik ataupun fraksinya di DPR sekalipun keputusan tersebut bertentangan dengan kehendak publik.
Kemudian, dari sejumlah kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, seperti Wa Ode Nurhayati dan I Putu Sudiartana, mereka justru terlihat memperjuangkan program di luar daerah pemilihan mereka.
Kerja DPR menjalankan fungsi legislasi juga tak memuaskan. Target legislasi tak pernah tercapai. Produk undang-undang yang dibuat kerap dibatalkan Mahkamah Konstitusi, menunjukkan buruknya kualitas penyusunan legislasi.
Kalaupun DPR dan pemerintah berniat memperbaiki disproporsionalitas dalam alokasi kursi, Donal melanjutkan, seharusnya yang terlebih dulu dilakukan adalah merealokasi kursi DPR dari provinsi yang alokasi kursi DPR-nya berlebih. Jika itu dilakukan, kemungkinan, tidak perlu jumlah kursi DPR ditambah.
Langkah ini dinilai tepat oleh pengamat politik Universitas Indonesia, Reni Suwarso, daripada menambah anggota DPR yang implikasinya menyedot lebih banyak anggaran negara.
"Tidak hanya untuk membiayai hak keuangan anggota DPR, tetapi juga untuk fasilitas mereka," lanjutnya.
Ketika opsi realokasi tidak dilakukan, tidak keliru jika muncul opini publik bahwa penataan alokasi kursi DPR semata untuk kepentingan partai politik dan kepentingan anggota DPR.
Partai, misalnya, hanya menyetujui penambahan kursi DPR di wilayah yang selama ini menjadi wilayah kekuasaannya. Dengan demikian, besar potensi partai meraih lebih banyak kursi di DPR.
"Sementara terkait kepentingan personal anggota DPR, mereka tidak mau kursi di daerahnya dikurangi karena kalau dikurangi kontestasi saat pemilu semakin ketat, ruang untuk terpilih kembali kian sulit," ujar Donal.
Tidak salah pula opini ini muncul karena selama ini pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu selalu tertutup.
Publik tak pernah tahu rumus yang dijadikan dasar pembenar Pansus dan pemerintah untuk menambah kursi DPR. Publik sebagai pemangku kepentingan utama dalam pemilu juga tak pernah ditanya soal keinginan mereka terkait jumlah anggota DPR yang akan mewakili dan memperjuangkan mereka.
Amanah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang salah satu pasalnya menyebutkan pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan asas keterbukaan diabaikan begitu saja. Padahal, pembentuk undang-undang itu DPR dan pemerintah. (A PONCO ANGGORO)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Mei 2017, di halaman 5 dengan judul "Penambahan Kursi DPR untuk Siapa?".
pernikahan teman sekantor
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.