JAKARTA, KOMPAS.com - Dinamika politik pasca-penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta 2017 memunculkan polarisasi di masyarakat. Polarisasi diprediksi bertahan lama dan meluas ke luar Jakarta, jika rekonsiliasi tidak segera dilakukan.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menilai, ajakan rekonsiliasi tidak akan efektif jika tidak mencari tahu penyebab terbelahnya masyarakat Indonesia, terutama di Jakarta.
"Tanpa upaya membenahi faktor utamanya, imbauan itu hanya akan jadi rutinitas yang justru membiarkan kuman penyakitnya membesar," kata Ray Rangkuti melalui keterangan tertulis, Rabu (17/5/2017).
Ray menilai salah satu penyakit yang muncul pasca-Pilkada DKI Jakarta adalah politik identitas.
Selama penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu, isu primordial terkait suku, agama, ras, dan antargolongan secara vulgar ditampilkan, hingga akhirnya terbentuk sekat sosial di masyarakat.
Identitas perbedaan keimanan seseorang begitu gencar disuarakan. Rumah-rumah ibadah juga dipergunakan untuk mempertegas perbedaan tersebut.
Tidak hanya itu, identitas suku atau etnik juga dipergunakan untuk memperkeruh suasana. Persoalan inilah yang harus dihapuskan dalam upaya rekonsiliasi pasca-Pilkada DKI Jakarta, agar tidak terulang pada pilkada atau pilpres di masa depan.
"Ajakan dan imbauan (rekonsiliasi) tersebut sebaiknya diiringi dengan ajakan untuk berkomitmen teguh bahwa isu SARA sama sekali tak dapat diperkenankan dalam hajatan politik," kata Ray.
(Baca juga: Sinyal Rekonsiliasi Pasca-Pilkada DKI Jakarta...)
Sebelumnya, pengamat sosial sekaligus dosen Fakultas Komunikasi Universitas Indonesia Devie Rahmawati berpendapat, rekosiliasi nasional perlu dilakukan oleh para elite politik. Caranya, dengan bertemu langsung dengan masyarakat di daerah.
Para elite politik harus menjelaskan dan bisa meyakinkan masyarakat bahwa proses pilkada hanya merupakan bagian dari kontestasi politik, terlepas dari isu kesukuan dan agama.
Cara tersebut efektif, sebab hubungan patron klien masih kental di sebagian besar masyarakat Indonesia. Artinya, masyarakat akan cenderung mendengarkan seseorang yang memiliki kekuasaan, status, wewenang dan pengaruh besar.
"Elite politik harus meyakinkan masyarakat bahwa Pilkada hanya menjadi bagian dari kontestasi politik," tutur Devie.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.