Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melalui Pidana Korporasi, KPK Ingin Maksimalkan Pengembalian Aset dari Kasus BLBI

Kompas.com - 16/05/2017, 21:05 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan untuk menerapkan ketentuan pidana korporasi untuk mengembalikan aset negara dalam dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). 

Melalui pidana korporasi, KPK ingin memaksimalkan pengembalian aset negara.

"Tim penyidik sedang mempertimbangkan serius untuk menerapkan ketentuan-ketentuan di pidana korporasi, sebagai cara memaksimalkan asset recovery," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (16/5/2017).

Tak hanya di dalam negeri, KPK ingin mengejar aset negara pada kasus BLBI itu hingga ke luar negeri, baik yang dimiliki pribadi maupun korporasi.

Di luar negeri, KPK akan bekerja sama dengan jaringan yang bekerja sama dengan KPK.

Untuk di dalam negeri, KPK akan menggunakan mekanisme hukum yang berlaku.

"Jadi kami sudah sampaikan sebelumnya dari kasus BLBI asset recovery salah satu konsen KPK. Karena itu KPK akan kejar kerugian negara dan pihak yang menerima," ujar Febri.

Febri mengatakan, ada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016, untuk penerapan pidana korporasi dalam mengembalikan aset negara.

"MA sudah nyatakan clear, dalam kondisi apa korporasi harus mempertanggungjawabkan," ujar Febri.

Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung, sebagai tersangka.

Penetapan ini terkait penerbitan SKL dalam BLBI.

Dalam penyelidikan, KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004.

SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada BPPN.

KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara sekurangnya Rp 3,7 triliun.

Sjamsul sudah menerima SKL dari BPPN, meski baru mengembalikan aset sebesar Rp 1,1 triliun, dari yang seharusnya Rp 4,8 triliun.

KPK akan mengumpulkan data-data keuangan untuk menelusuri aset negara yang diduga telah berubah bentuk.

Selain itu, KPK akan mengikuti aliran dana mulai dari pemberian Bank Indonesia kepada obligor.

KPK juga akan menelusuri jumlah kick back atau keuntungan uang diperoleh Syafrudin dalam penerbitan SKL.

Kompas TV KPK terus berupaya mengungkap kasus korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

Nasional
Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

Nasional
PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

Nasional
Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Nasional
Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Nasional
KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Nasional
Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Nasional
Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Nasional
Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk 'Distabilo' seperti Era Awal Jokowi

Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk "Distabilo" seperti Era Awal Jokowi

Nasional
Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Nasional
KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

Nasional
Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Nasional
Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Nasional
Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com