Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/05/2017, 14:27 WIB
Penulis Moh. Nadlir
|
EditorSabrina Asril

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diingatkan agar tak otoriter dalam membuat dan memaksakan kebijakan larangan penggunaan alat penangkap ikan yakni cantrang bagi para nelayan.

Anggota Komisi IV DPR Fauzih Amro mengatakan bahwa seharusnya ada dialog dengan para nelayan terlebih dulu, sebelum kebijakan itu dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Ia bisa memahami, jika pelarangan cantrang itu demi kepentingan ramah lingkungan. Tetapi sayangnya masyarakat tak diberi pemahaman terlebih dulu.

"Yang ramah lingkungan seperti apa. Makanya buka ruangan dialog. Enggak bisa otoriter. Tapi harus dengarkan suara pesisir dan ribuan nelayan," kata politisi Partai Hanura itu di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (13/5/2017).

Tak berbeda, anggota Komisi IV DPR Ichsan Firdaus pun juga mendesak ada dialog antara para nelayan dan pemangku kepentingan, dengan Susi.

(Baca: Koreksi Kebijakan Susi, Jokowi Bolehkan Cantrang hingga Akhir 2017)

"Itu untuk mencari solusi terkait larangan penggunaan alat tangkap cantrang," kata dia.

Ichsan juga menyebut, banyak pihak yang menentang Peraturan Menteri (Permen) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Bela (trawl) dan pukat tarik dan diberlakukan sejak 1 Januari 2017 lalu.

"Para nelayan tidak diberikan solusi terkait penggantian alat cantrang. Padahal harus ada dialog. Kalau tegas ya tidak masalah tapi kalau berpikir tanpa melihat implikasi ke depan itu berbahaya," kata dia.

Ia pun berujar, ada dua Peraturan Menteri yang dikeluarkan Susi yang dianggapnya tidak mempertimbangkan implikasi dari dibuatnya Permen tersebut. Permen itu yakni, Permen Nomor 1 Tahun 2015 tentang penangkapan lobster dan Permen Nomor 2 Tahun 2015.

"Begitu banyak sekali dampaknya terhadap nelayan. Artinya Bu menteri tidak melihat dampak dari pelarangan itu," kata politisi Partai Golkar tersebut.

Ichsan juga mengatakan, ia yakin bahwa dampak ekonomi tidak dipikirkan oleh Susi. Karena, Susi kata dia hanya berpikir soal penyelamatan lingkungan.

"Ada pola pikir yang salah terhadap aturan ini. Di satu sisi dia berfikir ada sustainability. Tapi di sisi lain ekonomi juga harus tumbuh," kata dia.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan bahwa pemerintah melarang penggunaan alat tangkap cantrang bagi para nelayan untuk menangkap ikan.

Namun, akhirnya kebijakan itu ditunda hingga akhir Desember 2017, dari sebelumnya Juni ini. Keputusan tersebut diambil Susi, usai diskusi dengan Presiden Joko Widodo.

Kompas TV Susi Pudjiastuti memerangi penangkapan ikan ilegal digambarkan dalam sebuah komik di Jepang
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Update 31 Mei 2023: Kasus Covid-19 Bertambah 428 dalam Sehari, Totalnya Jadi 6.807.513

Update 31 Mei 2023: Kasus Covid-19 Bertambah 428 dalam Sehari, Totalnya Jadi 6.807.513

Nasional
Cawe-cawe Jokowi Jelang Pemilu Dikhawatirkan Bisa Memicu Ketidakadilan

Cawe-cawe Jokowi Jelang Pemilu Dikhawatirkan Bisa Memicu Ketidakadilan

Nasional
Kejagung Tetapkan 1 Tersangka Baru Kasus Korupsi TWP AD 2019-2020

Kejagung Tetapkan 1 Tersangka Baru Kasus Korupsi TWP AD 2019-2020

Nasional
KPK Duga Kepala Bea Cukai Makassar Tukar Valas ke Rupiah Sebelum Beli Rumah

KPK Duga Kepala Bea Cukai Makassar Tukar Valas ke Rupiah Sebelum Beli Rumah

Nasional
MK Enggan Tanggapi Ancaman DPR soal Putusan Sistem Pemilu

MK Enggan Tanggapi Ancaman DPR soal Putusan Sistem Pemilu

Nasional
BPIP: Negara Ini Tak Akan Bubar dengan Sistem Proporsional Terbuka atau Tertutup

BPIP: Negara Ini Tak Akan Bubar dengan Sistem Proporsional Terbuka atau Tertutup

Nasional
Paloh, AHY, dan Presiden PKS Cium Indikasi Anies Baswedan Dijegal Penguasa

Paloh, AHY, dan Presiden PKS Cium Indikasi Anies Baswedan Dijegal Penguasa

Nasional
Yasonna Peringatkan Turis Asing yang Melanggar Hukum di Bali: Deportasi dan Cekal

Yasonna Peringatkan Turis Asing yang Melanggar Hukum di Bali: Deportasi dan Cekal

Nasional
Ekspor Pasir Laut Diizinkan, Menteri ESDM Singgung Keselamatan Alur Pelayaran

Ekspor Pasir Laut Diizinkan, Menteri ESDM Singgung Keselamatan Alur Pelayaran

Nasional
Jenderal Dudung Temui Kepala Staf AD Italia Bahas Modernisasi Alutsista dan Diplomasi Pertahanan

Jenderal Dudung Temui Kepala Staf AD Italia Bahas Modernisasi Alutsista dan Diplomasi Pertahanan

Nasional
Tuai Kontroversi, Jokowi Dinilai Perlu Klarifikasi Pengakuan soal Cawe-cawe Pemilu 2024

Tuai Kontroversi, Jokowi Dinilai Perlu Klarifikasi Pengakuan soal Cawe-cawe Pemilu 2024

Nasional
KPK Sebut Penyidikan TPPU Lukas Enembe Masih Dilakukan

KPK Sebut Penyidikan TPPU Lukas Enembe Masih Dilakukan

Nasional
Percaya Sumber Denny Indrayana, MK Tak Periksa Internal soal Putusan Pemilu Tertutup

Percaya Sumber Denny Indrayana, MK Tak Periksa Internal soal Putusan Pemilu Tertutup

Nasional
Pengacara Kaget Tumpukan Berkas Perkara Lukas Enembe Sampai 1 Meter

Pengacara Kaget Tumpukan Berkas Perkara Lukas Enembe Sampai 1 Meter

Nasional
Perludem Anggap Bahaya jika Pilihan Sistem Pemilu Ditentukan MK

Perludem Anggap Bahaya jika Pilihan Sistem Pemilu Ditentukan MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com