Manipulasi kepentingan politik
Selain itu, Ismail juga mengungkap bahwa delik penodaan agama rentan dimanipulasi dan tidak murni untuk kepentingan agama. Aparat penegak hukum, kata dia, harus lebih berhati-hati dalam menggunakan delik tersebut.
"Delik-delik penodaan agama ini rentan dimanipulasi, rentan digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak menjadi tujuan sesungguhnya dari adanya delik-delik penodaan agama di dalam perundang-undangan kita," ucapnya.
Jika ditelisik lebih jauh, dari total 97 kasus penodaan agama, ada berbagai macam konteks yang menjadi latar belakang, tidak hanya murni soal agama.
Menurut Ismail, sebagian besar kasus penodaan agama dilatarbelakangi oleh konflik kepentingan, antara lain relasi sosial, relasi bisnis, dan kontestasi politik.
(Baca: Delik Penodaan Agama Dinilai Rentan Kepentingan Politik)
Dari keseluruhan kasus penodaan agama, hanya 10 kasus yang berdasarkan konflik keagamaan dan 22 kasus terkait polemik pemahaman keagamaan.
"Penegakan hukum penodaan agama ini semua dilatarbelakangi oleh konflik yang tidak murni dalam konteks membela kepentingan agama," ucap Ismail.
"Bisa dikatakan dari 97 kasus yang mengemuka, sebagian besarnya dilatarbelakangi oleh konflik. Karena itu dia sebenarnya tidak obyektif kalau kita katakan sebagai peristiwa hukum yang memenuhi delik. Tetapi faktanya sebagian besar kasus-kasus itu pula masuk ke peradilan," kata dia.
Oleh sebab itu, dia berpendapat bahwa Pasal 156a terkait penodaan agama perlu dihapus dalam pembahasan revisi KUHP yang tengah berjalan di DPR.
Ismail menilai pasal penodaan agama rentan menjadi instumen restriktif dan berpotensi mendegradasi prinsip-prinsip umum penyelenggaraan negara demokrasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.