Artinya, ada sistem hukum universal yang dianut oleh semua bangsa di dunia dan harus dihormati serta dilaksanakan (lihat M Cherif Bassiouni, 2003, halaman 31). Terlebih, Indonesia adalah state party dalam UNCAC yang telah diratifikasi.
(Baca juga: KPK Minta DPR Pisahkan Ranah Pengawasan dan Proses Hukum)
Ketiga, hak angket terhadap KPK yang meminta rekaman pemeriksaan politisi Partai Hanura, Miryam S Haryani, dalam perkara korupsi pengadaan KTP-el dibuka, menunjukkan pembangkangan DPR terhadap undang-undang keterbukaan informasi. Berdasarkan undang-undang a quo, informasi dalam proses hukum bersifat rahasia dan tidak untuk dipublikasikan. Tegasnya, tindakan DPR secara kasatmata melanggar undang-undang a quo.
Keempat, jika KPK menganggap manuver politik DPR dengan menyetujui hak angket menghambat dan menghalangi kinerja KPK dalam mengungkap perkara korupsi KTP-el, anggota DPR dapat dijerat dengan obstruction of justice atau tindakan menghalang-halangi proses penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam UNCAC, obstruction of justice adalah mandatory offences yang harus ditegakkan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kiranya KPK tidak perlu ragu untuk menolak intervensi dari mana pun dan dalam bentuk apa pun.
Eddy OS Hiariej,
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Mei 2017, di halaman 7 dengan judul "DPR Versus KPK".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.