Jauh sebelum cerita Zulkifli muncul, yakni pada masa kampanye Pilkada DKI Jakarta, Wapres JK berharap agar salah satu dari dua kader Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yang bertarung di Pilkada DKI Jakarta dapat keluar sebagai pemenang.
Kedua orang itu adalah adalah Anies Baswedan dan Sylviana Murni.
Hal itu disampaikan Kalla saat menghadiri peringatan HUT ke-50 KAHMI di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (28/9/2016) malam. Baik Anies maupun Sylviana, hadir dalam peringatan HUT tersebut.
"Salah satunya, mudah-mudahan lah (menang)," kata JK.
Baca: Kalla Doakan Anies Baswedan atau Sylviana Murni Menang di Pilkada DKI
Sebelum cerita Zulkifli muncul, tepatnya pasca-pemungutan suara pada 19 April, JK bertemu dengan Anies dan Sandiaga setelah pasangan itu unggul Pilkada DKI Jakarta versi hitung cepat dari sejumlah lembaga survei, termasuk dari Litbang Kompas.
Perlakuan JK terhadap Anies berbeda untuk Sandiaga. Pertemuan JK dan Anies dilakukan tertutup di rumah dinas Wapres RI, Kamis (20/4/2017) pagi, sehari setelah pemungutan suara.
Pertemuan itu baru diketahui media massa pada malam harinya, berdasarkan pengakuan Anies sendiri. Anies mengatakan,dia menemui JK karena memiliki hubungan dekat sejak lama.
Baca: Anies Bertemu Wapres Jusuf Kalla Tadi Pagi dan Anies Temui Wapres JK karena Merasa Dekat
Secara terpisah, JK mengatakan tidak ada hal istimewa yang dibahas dalam pertemuannya dengan Anies.
"Ya, karena Anies kan teman bekas menteri. Ketemu itu biasa saja, kasih selamat," kata JK di Hotel Shangrila, Jakarta, Jumat (21/4/2017).
Berbeda dari pertemuan dengan Anies yang dilakukan secara tertutup dan empat mata, pertemuan JK dan Sandiaga dilakukan di forum terbuka.
Pada Senin (25/4/2017), keduanya sama-sama menghadiri penutupan Forum Ekonomi Umat yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI).
JK memuji Sandiaga sebagai sosok pengusaha yang bersikap optimistis. Ia pun mengajak semua peserta kongres untuk mencontoh sikap optimisme Sandiaga.
Rupanya, pertemuan JK dan Sandiaga di acara tersebut bukan kebetulan. Sandiaga mengakui ia diminta untuk mendampingi JK di forum itu.
Baca: Bertemu Anies, Ini Pesan yang Disampaikan Wapres JK dan Kedekatan Jusuf Kalla dan Anies-Sandi...
Lalu, bagaimana kita membaca fakta dan memaknai cerita tokoh-tokoh nasional tersebut di atas?
Dalam hati kecil, Anda mungkin saja bertanya-bertanya, cerita manakah yang sesuai dengan fakta, benar-benar ada, terjadi, dan bukan hoax.
Namun, tidak pantas juga kita mengajukan pertanyaan semacam itu. Sebab, mereka adalah tokoh-tokoh panutan. Cukup dengan mendengarkan saja, memang ceritanya "seperti itu".
Mereka adalah tokoh dan pemimpin nasional, tentu saja, yang karena ketokohannya mereka layak menjadi rujukan berbagai hal, baik dalam tutur kata, tindakan, atau perbutan.
Disebut tokoh nasional karena mereka dianggap pantas dan layak menjadi "fondasi etika berpolitik".
Baca: Etika, Hukum, dan Tradisi Politik dan Demokrasi, tetapi Tak Disiplin dengan Aturan
Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia atau cabang filsafat yang membahas prinsip-prinsip moralitas politik (Franz Magnis Suseno, 1991, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern).
Dewasa ini setelah era reformasi pada pertengahan 1998, Indonesia telah memasuki masa transisi dari era otoritarian ke era demokrasi.
Kita telah melakukan banyak perubahan fundamental dalam bidang-bidang kehidupan yang strategis dan vital, termasuk membangun tatanan kehidupan politik baru yang demokratis.
Namun, tatanan kehidupan politik yang demokratis ini, dalam perjalanannya, lambat laun tergerus oleh kepentingan pribadi dan kelompok.
Apakah yang dapat kita katakan jika ada elite lebih mudah menghalalkan segala cara untuk mewujudkan kepentingannya, tidak lagi mengindahkan nilai-nilai etika dan moralitas berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Baca: Etika Politik untuk Hapus Oligarki
Kurangnya etika berpolitik yang sering kita jumpai merupakan akibat dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai.
Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika dan moral.
Selain itu, kurangnya komunikasi politik juga menjadi penyebab lahirnya elite politik seperti itu, yakni yang tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat.
Namun, juga menghasilkan orang-orang yang cenderung otoriter, termasuk politik kekerasan yang semakin berkembang karena perilaku politik dipandu oleh emosi.
Baca: Uskup Agung: Etika Politik Tidak Dijunjung Tinggi dan Moralitas Politik
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.