JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan status justice collaborator terhadap dua terdakwa mantan pegawai PT Melati Technofo Indonesia, Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta.
Keduanya dianggap bukan pelaku utama dalam kasus suap terkait pengadaan monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Pengacara Adami, Setiyono, menilai bahwa pelaku utama yang menjadi perancang kasus korupsi di Bakamla adalah politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi. Fahmi Habsyi merupakan staf Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Soedewo.
(Baca: Penyuap Pejabat Bakamla Diberi Status "Justice Collaborator")
"Kalau bicara pelaku utama, semua publik tahu awalnya ada di Habsyi. Dia yang ajak main proyek kan," kata Setiyono di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (5/5/2017).
Sesuai fakta sidang, Fahmi Habsyi awalnya mendatangi Kantor PT Merial Esa di Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Perusahaan itu dimiliki oleh Fahmi Darmawansyah.
Dalam pertemuan itu, Fahmi Habsyi menawarkan Fahmi Darmawansyah untuk bermain proyek di Bakamla.
Namun, Fahmi diminta untuk mengikuti arahan Ali Fahmi, dan memberikan fee sebesar 15 persen dari nilai pengadaan.
(Baca: Dua Penyuap Pejabat Bakamla Dituntut 2 Tahun Penjara)
Selanjutnya, Fahmi Habsyi memberitahu bahwa pengadaan monitoring satelit akan dilaksanakan oleh PT Melati Technofo, yang juga dimiliki oleh Fahmi Darmawansyah.
Kepastian tersebut karena sebelum proses lelang, pembuatan kerangka acuan kerja dibantu oleh salah satu staf PT Melati Technofo, yakni Hardy Stefanus.
"Dari PT MTI dia ambil Rp 54 miliar, Rp 24 miliar sama Rp 30 miliar, menang banyak dia. Nah, yang Rp 54 miliar ini ada di mana?" Kata Setiyono.
(Baca: Kasus Suap Bakamla, KPK Cari Politisi PDI-P Ali Fahmi)
Dalam persidangan, Fahmi Habsyi telah berkali-kali dipanggil, namun tidak juga hadir. Bahkan, majelis hakim telah mengeluarkan keputusan pemanggilan kepada Habsyi.
Menurut KPK, keberadaan Habsyi saat ini tidak dapat diketahui.