Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nelayan Keluhkan Kebijakan Menteri Susi ke Muhaimin Iskandar

Kompas.com - 02/05/2017, 15:46 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Para nelayan dari berbagai daerah mendatangi kantor Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jalan Raden Saleh I, Jakarta Pusat, Selasa (2/5/2017), untuk bertemu dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.

Para nelayan mengeluhkan dan mengadukan sejumlah kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kepada Muhaimin.

Kebijakan yang dikeluhkan antara lain Peraturan Menteri (Permen) Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Permen KKP Nomor 71 Tahun 2016 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Tangkap Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Permen KKP Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan.

Anwar, salah satu nelayan asal Sukabumi mengeluhkan kebijakan Susi yang berujung pada larangan penangkapan bibit lobster. Penangkapan lobster selama ini telah menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat di bentang pantai Sukabumi. Menurut dia, biasanya seluruh nelayan Sukabumi menghasilkan 100.000 bibit lobster per hari sebelum kebijakan tersebut berlaku.

Kini, nelayan tidak bisa lagi menangkap bibit lobster karena adanya larangan itu. Sejumlah nelayan yang masih melakukan penangkapan lobster dengan ukuran yang terdapat pada Permen KKP Nomor 1 Tahun 2015, terancam pidana.

"Dalam seminggu ini, sudah sembilan nelayan ditangkap polisi," kata Anwar kepada Muhaimin.

Dia menambahkan, di sisi lain para nelayan masih melihat ada kegiatan ekspor bibit lobster ke luar negeri yang diduga dilakukan ilegal.

Larangan itu, menurut dia, juga berdampak pada pendapatan daerah. Sebab, 100.000 lobster yang ditangkap per hari itu senilai Rp 4 miliar. "Potensi PAD enggak bisa ditarik, retribusi dan sebagainya (tidak bisa didapat)," kata Anwar.

Nawawi, nelayan asal Banten, mengeluhkan larangan penggunaan cangkrangan. Dampak Permen Nomor 71 Tahun 2016 menurut dia tiga nahkoda kapal nelayan asal Banten ditangkap dan dijebloskan ke bui.

Permen itu juga berdampak pada 200 kapal yang menggunakan alat tangkap cantrang di Banten. Dia mengatakan, satu kapal nelayan punya 10-13 ABK (anak buah kapal). Jika ada 200 kapal, jumlah ABK yang kehilangan mata pencaharian sebanyak 2.000 hingga 2.600 orang. Belum lagi dampaknya bagi keluarga nelayan.

Selain itu, masih ada sektor-sektor usaha seperti pengerajin kerupuk, baso ikan, yang mengandalkan tangkapan ikan bondolan. Ikan bondolan menurut dia hanya bisa ditangkap dengan cantrang.

Akibat adanya kebijakan ini, nelayan kini menurut di main kucing-kucingan dengan aparat keamanan.

"Nelayan cangkrang dulu ketemu Polair (Polisi Perairan) dan Angkatan Laut senang, (karena) takut ada bajak laut, tapi sekarang terbalik, (jadi) kabur. Ini yang terjadi tidak hanya di Banten, tapi seluruh," ujar dia.

Para nelayan yang hadir meminta agar Muhaimin menyampaikan hal itu kepada pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo. Mereka juga meminta agar permen-permen tersebut dicabut.

Cak Imin menyatakan akan menawarkan kepada Menteri Susi untuk menemui nelayan. Menurut dia, PKB siap untuk menjembatani.

"Bagi PKB tidak ada kepentingan selain semua tumbuh kembang dengan baik, dapat manfaat, tidak berdampak kemiskinan," kata Muhaimin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Nasional
Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com