JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan, Asep Warlan Yusuf mengatakan, hak angket yang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat publik semakin curiga adanya solidaritas untuk melindungi anggota DPR dari kasus dugaan korupsi pengadan KTP elektronik atau e-KTP.
Dalam persidangan di pengadilan Tipikor Jakarta, sejumlah nama anggota DPR disebut ikut mengancam anggota DPR Miryam S Haryani agar tidak menyebutkan adanya pembagian uang hasil korupsi e-KTP.
"Kecurigaan kita sebagai publik, kan ada orang DPR yang disebut namanya, nah jangan-jangan melindungi teman-temannya dengan menggunakan instrumen ketatanegaraan. Kan tidak proporsional," kata Asep, saat dihubungi, Sabtu (29/4/2017).
(baca: Drama Rapat Paripurna DPR Loloskan Hak Angket KPK...)
Menurut Asep, KPK memiliki hak untuk tidak membuka alat bukti pada siapapun, termasuk kepada DPR, demi kelancaran penyidikan.
Asep menyarankan DPR lebih baik mengikuti jalannya persidangan dugaan korupsi e-KTP dibandingkan menggunakan hak angket.
"Itu jauh lebih elegan dan sesuai dengan instrumen hukum, bukan dengan hak angket. KPK berhak untuk tidak buka alat bukti," ujar Asep.
Jika hak angket terus berlanjut, Asep mengkhawatirkan DPR juga akan meminta membuka hasil pemeriksaan.
"Nantinya kalau hak anggket minta juga buka hasil pemeriksaan kan bahaya betul. Padahal ini bagian penyidik untuk mengungkapkan kasus, tidak bisa dibuka ke DPR," ucap Asep.
Hak angket itu bermula dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Alasannya, dalam persidangan disebutkan bahwa politisi Partai Hanura Miryam S Haryani mendapat tekanan dari sejumlah anggota Komisi III.
Komisi III mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam, yang kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.