JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia akan menyampaikan laporan perkembangan hak asasi manusia dalam negeri pada Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss, 3 hingga 5 Mei 2017.
Indonesia menjadi negara pertama yang dibahas negara-negara anggota PBB.
Direktur Kerjasama HAM Kementerian Hukum dan HAM Arry Ardanta menjelaskan, perwakilan Indonesia akan memaparkan kemajuan di bidang HAM yang telah dicapai pada pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla di dalam sidang review itu.
Poin utama paparan adalah bagaimana pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan mengenai hukuman mati dan menciptakan keadilan bagi seluruh umat beragama di Indonesia.
"Betul, mengerucutnya nanti ke dua itu," ujar Arry di Kantor Kepala Staf Kepresidenan, Jakarta, Kamis (27/4/2017).
(Baca: Hukuman Mati di Indonesia Masih Menjadi Sorotan di UPR Dewan HAM PBB)
Perwakilan Indonesia akan menyampaikan kondisi sosial dalam negeri yang dinilai masih jauh dari tercapainya HAM.
Misalnya soal sulitnya membangun rumah ibadah di Indonesia bagi kelompok agama tertentu dan pro kontra Peraturan Daerah berbasis Syariat Islam.
"Di berbagai daerah masih mengklaim sulit membangun rumah ibadah. Meski, secara bertahap kita (pemerintah) sedang coba menangani itu ya," ujar Arry.
Kondisi disabilitas di Indonesia juga akan dilaporkan kepada negara-negara PBB.
Catatan Ary, masih banyak penyandang disabilitas yang merasa belum dipenuhi kesamaan haknya seperti warga negara lain.
Bentuknya diskriminasi perlakuan, keterbatasan ketersediaan fasilitas umum dan kecilnya peluang di bursa tenaga kerja.
"Selebihnya, perwakilan Indonesia akan memaparkan menganai kemajuan fisik yang telah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo," kata dia.
Kemajuan fisik itu diyakini berimbas positif bagi pemenuhan hak asasi manusia oleh negara.
Dicecar
Staf Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Ifdhal Kasim memprediksi, negara-negara PBB akan mencecar perwakilan Indonesia mengenai dinamika HAM selama ini.
"Terdapat 93 negara yang mendaftarkan review (peninjauan) mereka (terhadap laporan HAM di Indonesia)," ujar Ifdhal di Kantor KSP, Jakarta, Kamis.
Ifdhal yang merupakan mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia itu tidak mengetahui, poin apa yang akan menjadi 'peluru' negara-negara terhadap dinamika HAM di Indonesia selama ini.
Namun, ia mengira-ngira, persoalan hukuman mati di Indonesia adalah salah satu yang bakal dicecar negara lain.
(Baca: Ini Laporan Pemerintah di UPR Terkait Penuntasan Kasus HAM Masa Lalu)
Perwakilan Indonesia akan menyampaikan apa adanya mengenai hal itu. Termasuk rencana pemerintah untuk menjadikan hukuman mati bukan lagi sebagai hukuman pokok, melainkan menjadi hukuman alternatif.
"Ya kami enggak bisa menyangkal (Indonesia masih menerapkan hukuman mati). Jadi akan tetap kami laporkan apa yang sudah pemerintah lakukan soal hukuman mati. Wujudnya kan sudah ada yakni revisi UU KUHP," ujar dia.
Selain soal hukuman mati, negara lain diprediksi mencecar Indonesia mengenai perkembangan penyelesaian perkara HAM berat masa lalu.
Dalam hal ini pun, perwakilan Indonesia akan menyampaikan secara apa adanya. Salah satu yang akan dipaparkan perwakilan Indonesia adalah penanganan perkara HAM berat masa lalu Wamena-Wasior.
"Sekarang kan sedang dalam penelitian Kejaksaan Agung untuk ditentukan apakah akan (naik ke tahap) penyidikan atau tidak. Ya kami akan sampaikan saja," ujar Ifdhal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.