Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/04/2017, 23:16 WIB

oleh: Oce Madril

DPR menggulirkan hak angket untuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Hak angket itu berkaitan dengan penolakan KPK untuk memberikan rekaman pemeriksaan.

Secara hukum, hak angket yang dilancarkan DPR ini agak aneh. Sebab, hak angket seharusnya hanya ditujukan pada kebijakan pemerintah, bukan terhadap sebuah lembaga negara. Hak angket tidak sama dengan fungsi pengawasan yang secara umum dimiliki oleh DPR. Ruang lingkup dan mekanisme penggunaan hak ini telah diatur secara defensif dan lebih ketat.

Ditulis jelas dalam Pasal 79 Ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan UU MD3 tersebut, terdapat tiga unsur penting yang harus dipenuhi untuk menggunakan hak angket. Pertama, hak itu bertujuan untuk penyelidikan. Kedua, terhadap kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berdampak luas. Ketiga, harus ada dugaan bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

(Baca juga: Hak Angket, Mengawasi atau Mengancam KPK?)

Bukan informasi publik

Mencermati unsur penting dan ruang lingkung hak angket, apa relevansinya dengan tindakan penegakan hukum yang dilakukan KPK? Jelas tidak ada. Hak angket tidak dapat digunakan kepada lembaga penegak hukum seperti KPK. Hak itu lebih ditujukan untuk pemerintah (kekuasaan eksekutif) dan lembaga-lembaga pemerintah non-kementerian.

Apalagi jika obyek yang diangkat dalam angket adalah tindakan dan informasi seputar proses penegakan hukum suatu perkara. Instrumen pengawasan mana pun tidak bisa digunakan untuk hal ini kecuali mekanisme sistem penegakan hukum pidana itu sendiri.

Selain itu, prinsip independensi penegakan hukum harus dijunjung tinggi. Proses penegakan hukum merupakan kewenangan independen lembaga penegak hukum. Independensi ini tidak boleh diintervensi oleh lembaga mana pun. Tindakan penegakan hukum bermuara di pengadilan, bukan di DPR.

Penolakan KPK untuk membuka dan memberikan data pemeriksaan saksi/tersangka kepada Komisi III DPR adalah tindakan yang benar. Sebagai lembaga penegak hukum, KPK tidak boleh membuka data dan dokumen secara sembarangan. Semua ada aturannya. KPK dapat melakukan itu hanya di persidangan pengadilan khusus tindak korupsi. Di luar itu, KPK tidak boleh melakukannya. Ada sanksi administratif, etik, dan pidana yang menunggu jika data itu dibuka tidak pada tempatnya.

Bahkan, UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menggolongkan informasi penegakan hukum sebagai informasi yang rahasia. Informasi itu dikecualikan dari sistem keterbukaan informasi publik. Ketentuan Pasal 17 UU No 14/2008 dengan tegas menyatakan demikian. Sebab, jika dibuka, maka dapat menghambat proses penegakan hukum, penyelidikan, dan penyidikan suatu tindak pidana. Termasuk yang tidak boleh dibuka adalah informasi terkait identitas informan, pelapor, dan saksi yang mengetahui adanya tindak pidana. Informasi-informasi itu dapat dibuka kepada publik hanya di persidangan pengadilan.  

Pihak-pihak yang tanpa hak mengakses, memperoleh, dan memberikan informasi yang dikecualikan dalam Pasal 17 itu diancam hukuman pidana sesuai ketentuan Pasal 54 UU KIP, yaitu maksimal dua tahun pidana penjara dan pidana denda maksimal Rp 10 juta. Selain itu juga terdapat sanksi administratif.

Jika anggota DPR bersikukuh meminta dan memperoleh informasi terkait perkara yang sedang diusut KPK, mereka akan berhadapan dengan ancaman UU KIP ini. Hal yang sama juga berlaku bagi unsur pimpinan dan staf KPK.  

(Baca juga: Keputusan soal Usulan Hak Angket Dibahas pada Paripurna Jumat Besok)

Intervensi politik

Penggunaan hak angket yang salah kaprah ini hanya menunjukkan kuatnya dorongan intervensi politik terhadap KPK. Aroma intervensi itu begitu kuat di tengah bergulirnya perkara korupsi KTP elektronik yang menyebut nama-nama politisi kuat di DPR. Tak menutup kemungkinan nama-nama itu pun diseret ke meja hijau.   

Serangan semacam ini seolah sudah menjadi strategi yang digunakan ketika KPK menangani kasus-kasus korupsi politik. Banyak pengalaman sebelumnya membuktikan hal itu.

Kali ini, hak angket digunakan sebagai pintu masuk untuk mengintervensi kinerja KPK. Boleh jadi hak angket bukanlah tujuan mereka, melainkan untuk mengganggu kinerja KPK untuk melanjutkan perkara korupsi yang sedang ditangani.

OCE MADRIL,
Staf Pengajar Fakultas Hukum UGM; Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Angket Politik DPR".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com