JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa bulan belakangan KPK disibukkan dengan kasus dugaan korupsi pada megaproyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang merugikan negara sekitar Rp 2,3 triliun.
Dalam waktu yang berdekatan, KPK mengumumkan bahwa kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), ditingkatkan ke penyidikan.
KPK menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Temenggung sebagai tersangka.
Nilai kerugian negaranya lebih besar dari kasus e-KTP, yakni Rp 3,7 triliun. Itupun masih terkait satu obligor yang menerima SKL, padahal belum melunasi utangnya.
(Baca: Menkeu Sri Mulyani Minta Polisi dan Kejaksaan Kejar Obligor BLBI)
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, meski kesulitan kasus BLBI tinggi, tidak membuat KPK mengabaikan kasus lain. Termasuk kasus e-KTP yang diduga banyak menyeret politisi.
"e-KTP tetap kita tangani, pendalaman termasuk pengembangan perkara tetap paralel, karena timnya yang menangani berbeda," ujar Febri di gedung KPK, Jakarta, Rabu (26/4/2017) malam.
Febri mengatakan, saat ini KPK masih akan mendalami mekanisme pemberian SKL dari Syafruddin kepada obligor Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada tahun 2004.
KPK belum akan mengembangkan kasus ini terhadap obligor lain.
"Tak tertutup kemungkinan jika ada alat bukti yang cukup, akan mengembangkannya," kata Febri.
Dalam kasus BLBI, KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim.
SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada BPPN.
(Baca: KPK Didesak Cepat Usut Kasus BLBI Sebelum Para Obligor Kabur)
KPK menduga Syafrudin memberi SKL kepada Sjamsul, padahal utang sebesar Rp 4,8 triliun belum dikembalikan seluruhnya.
Atas perbuatannya, Syafruddin dianggap menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara sekurangnya Rp 3,7 triliun.
KPK juga mengupayakan pengembalian aset negara dalam kasus ini. Para pelaku akan dijerat dengan dengan pasal pencucian uang dan pidana korporasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.