Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hak Angket, Mengawasi atau Mengancam KPK?

Kompas.com - 26/04/2017, 16:02 WIB

Di tengah upaya Komisi Pemberantasan Korupsi mempercepat penuntasan kasus KTP elektronik, Komisi III DPR menggulirkan inisiatif hak angket. Pengawasan terhadap "ketidakberesan" KPK dijadikan landasannya. Namun, pegiat anti korupsi mencium kuatnya "bau" ancaman.

Usul penggunaan hak angket muncul dalam rapat dengar pendapat Komisi III bersama KPK yang berlangsung Selasa hingga Rabu (18-19/4) dini hari. Dalam pertemuan itu, Komisi Hukum itu mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani, anggota DPR yang kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan KTP-el.

Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan, usulan hak angket tidak akan muncul jika pimpinan KPK bersikap "fleksibel". Menurut dia, Komisi III hanya meminta rekaman pemeriksaan Miryam yang diputar terbatas pada bagian yang menyebutkan ada tekanan dari anggota Komisi III (Kompas 20/4).

Pangkal relasi yang kembali "panas" antara Komisi III dan KPK bermula saat Miryam mencabut keterangannya dalam berita acara pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan KTP-el. Di BAP itu, ia menjelaskan soal aliran uang ke sejumlah pihak, termasuk politisi kakap di DPR. Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Miryam menyatakan, keterangan itu dibuat atas tekanan dari tiga penyidik KPK, di antaranya Novel Baswedan.

Pada 31 Maret 2017, majelis hakim mengonfirmasi hal itu kepada tiga penyidik KPK. KPK juga memutar rekaman suara dan gambar pemeriksaan yang menunjukkan suasana pemeriksaan "adem-adem" saja. Sebaliknya, penyidik KPK menyebut, Miryam mengaku ditekan anggota Komisi III, yakni Bambang Soesatyo, Aziz Syamsudin, Desmon J Mahesa, Masinton Pasaribu, dan Sarifuddin Sudding (Kompas, 31/3).

"Itu bohong. Makanya kami tantang KPK buka itu, tetapi KPK tidak berani," kata Masinton saat menjadi pembicara dalam program Satu Meja di Kompas TV dengan tema "Ancaman DPR untuk KPK", Senin (24/4).

Diskusi yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo itu dihadiri tiga pembicara lain, yaitu Juru Bicara KPK Febri Diansyah, peneliti Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho, dan Bivitri Susanti, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

Masinton berkali-kal membantah bahwa dorongan hak angket itu dilakukan karena terkait kasus Miryam. Menurut dia, hak angket yang digulirkan itu berada dalam konteks fungsi pengawasan DPR. "Kami tidak masuk ke sana (kasus KTP-el). Kami melihat ada laporan-laporan ke DPR soal surat perintah penyidikan bocor, dakwaan bocor. Dokumen rahasia bocor, bagaimana pengelolaan internal KPK," kata Masinton.

Akan tetapi, argumentasi itu dimentahkan Febri yang menuturkan bahwa dalam rapat dengar pendapat, KPK sudah menjawab semua pertanyaan Komisi III, semisal soal kebocoran draf surat perintah penyidikan Anas Urbaningrum pada 2013. Perdebatan baru memanas menjelang akhir rapat dengar pendapat saat Komisi III mengusulkan empat draf kesimpulan rapat. Tiga poin pertama disepakati, termasuk saran-saran perbaikan KPK. "Untuk poin keempat, Komisi III meminta KPK membuka rekaman BAP Miryam. Kami menghormati hubungan baik antarinstitusi dan pengawasan, tetapi ketika KPK sedang menangani kasus, tidak bisa membuka," katanya.

(Baca juga: Hak Angket untuk Lemahkan KPK)

Ketidakpercayaan publik

KPK sebagai institusi yang menjadi "obor" di tengah kegelapan perlawanan terhadap koruptor di Indonesia bukan sekali ini saja mendapat tekanan politik. Kriminalisasi terhadap pimpinan KPK sudah beberapa kali terjadi, seperti pada 2009 dan 2015. Novel juga beberapa kali menjadi target. Setelah itu, muncul upaya melemahkan KPK lewat revisi UU KPK. Publik merespons dengan dukungan masif terhadap KPK.

Serangan terbaru terhadap KPK muncul tak lama setelah Novel bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta. Wajah Novel disiram air keras oleh orang tak dikenal. Upaya menggulirkan hak angket terhadap KPK, oleh Emerson dan Bivitri, dinilai sebagai lembaran tambahan terhadap upaya "menekan" atau bahkan melemahkan KPK.

"Ini tidak terlepas dari keterkejutan atas megaskandal KTP-el. Ada nama yang disebutkan dari Banggar (DPR), pimpinan parpol, eksekutif, bahkan Ketua DPR. Mereka berpikir bagaimana meng-counter apa yang dilakukan KPK," kata Emerson.

(Baca juga: KPK: Hak Angket DPR Bisa Hambat Penuntasan Kasus E-KTP )

Bivitri Susanti menilai, langkah Komisi III mendorong hak angket tidak tepat. Informasi penyidikan perkara sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, kata dia, merupakan informasi yang dikecualikan untuk dibuka.

"Sudah menjadi modus, setiap KPK tangani kasus besar, diserang. Hak angket ini terasa sebagai manuver ketimbang fungsi pengawasan, untuk menekan KPK," kata Bivitri.

Dalam babak baru "pertarungan" hak angket, DPR sebenarnya bisa menakar diri dengan melihat bagaimana publik akan merespons upaya itu. Berbagai survei terkait dengan lembaga negara dan pemberantasan korupsi menunjukkan, KPK selalu mendapat "nilai" positif dari publik. Ini bertolak belakang dengan DPR, yang dianggap sebagai bagian dari persoalan.

Global Corruption Barometer 2017 yang disusun Transparency International menunjukkan, mayoritas responden di 31 provinsi di Indonesia menempatkan DPR sebagai lembaga yang paling korup (54 persen) diikuti birokrasi (50 persen) dan DPRD (47 persen).

Sebagai pembanding, survei Litbang Kompas Februari 2016 menunjukkan 74,7 persen dari 510 responden di 12 kota besar menganggap KPK punya citra positif. Dengan jurang perbedaan persepsi publik yang begitu terlihat, akankah Komisi III DPR memperburuk citranya dengan "menekan" KPK lewat hak angket? Kita tunggu saja.

(Antony Lee)
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 April 2017, di halaman 5 dengan judul "Hak Angket, Mengawasi atau Mengancam KPK?".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Nasional
Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Nasional
PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

Nasional
Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Nasional
Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Nasional
Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Nasional
KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

Nasional
Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Nasional
Satkar Ulama Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar Lagi, Doakan Menang Aklamasi

Satkar Ulama Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar Lagi, Doakan Menang Aklamasi

Nasional
Gibran Temui Prabowo di Kertanegara Jelang Penetapan Presiden-Wapres Terpilih

Gibran Temui Prabowo di Kertanegara Jelang Penetapan Presiden-Wapres Terpilih

Nasional
KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

Nasional
Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

Nasional
PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

Nasional
Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Nasional
Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com