Revolusi kedua
Dengan beberapa pergaulan dan pengalaman ada di lingkungannya, mungkin saya sedikit mafhum dengan apa yang terjadi di parlemen kita saat ini. Namun, semua itu sungguh tidak cukup untuk memahami, mendapat substansi, hingga asbabun nuzul, apalagi solusi terbaik, bagi praktik-praktik yang sudah hampir menjadi cerita rakyat tentang parlemen itu.
Ketika parlemen sebagai perangkat keras utama demokrasi menjadi bagian konspiratif dari budaya yang sangat merusak itu, maka bukan cuma produk-produk yang diciptakan (oleh anggota-anggotanya yang korup, manipulatif, dan destruktif) harus ditolak, tetapi juga keberadaannya harus berani kita sangkal.
Dalam tulisan tahun 2005, saya mengonstatasi, penolakan macam di atas bisa menciptakan kekhawatiran sebagian kalangan akan potensinya melahirkan disorder. Namun, saya meneguhkan, "Tapi negeri, negara, dan penguasa harus juga diingatkan secara keras. Agar Presiden dan Mahkamah Konstitusi (dan MA), misalnya, berpikir lebih keras, bagaimana mereka menggunakan wewenangnya untuk memberi jalan pada publik untuk mampu mengoreksi dan membenahi para wakilnya yang menyimpang. Tak cuma boleh menjadi korban belaka."
Hari ini kita menyaksikan bagaimana lembaga hukum (yuridis) tertinggi, MA, bukannya justru menjadi kesatria legislatif menegakkan hukum dan konstitusi, melainkan malah jadi bagian konspirasi pengkhianatan UUD itu. Fakta ini menunjukkan bukan saja parlemen telah berubah menjadi gergasi dengan impunitas tinggi, melainkan kuasanya luber mengangkangi kekuatan eksekutif dan legislatif yang menjadi sejawat atau kekuatan penyeimbangnya.
Maka, hari ini juga kita menyadari bagaimana rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan pemberi pinjaman kekuasaan (amanah) pada parlemen ternyata mati kutu alias tidak mampu berkutik menghadapi "pelayan" atau "petugas" kedaulatannya, ketika pihak terakhir itu mengkhianati tugas dan tanggung jawab amanah. Karena itu, demokrasi negeri ini tak menyisakan satu pun kekuatan yang mampu meng-"atas"-i parlemen. Parlemenlah yang kini jadi super-institusi itu.
Kita harus menyatukan kekuatan, di semua elemen, menghadapi ancaman tidak main-main itu. Ancaman yang akan mendorong anak cucu kita dalam lembah perbudakan modern yang mengerikan.
Sudah tiba waktunya, saya kira, kita semua pemangku bangsa memulai pencarian besar itu, sebagaimana para pendiri bangsa ini dahulu melakukannya. Revolusi kedua, dalam pemikiran atau perjuangan mental batin ini, hampir terlambat kita lakukan, setelah lebih dari 70 tahun kita terlena oleh kebohongan dan involusi penuh ancaman ini. Betapapun itu menyakitkan dan membuat sebagian kita menderita, kita harus kuat dan teguh, termasuk untuk mengorbankan sebagian yang kita miliki/cintai.
Apalagi yang ditunggu?
Radhar Panca Dahana
Budayawan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Aku Menolak Parlemen".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.