Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/04/2017, 18:39 WIB

Hampir bisa dipastikan, Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta putaran kedua, Rabu besok, adalah pilkada terpanas dan paling ketat. Dalam ingatan bersama (collective memory), sejak pemilihan gubernur langsung mulai tahun 2005, Pilkada DKI Jakarta kali ini boleh dikatakan paling panas.

Oleh karena itu, tak heran jika banyak juga kalangan luar negeri memberikan perhatian khusus pada Pilkada DKI Jakarta. Dalam percakapan penulis dengan kalangan pemerintahan, politisi, dan masyarakat di Berlin, London, dan Amsterdam, mereka melihat Pilkada DKI Jakarta sebagai kasus menarik. Isu double minority dan tuduhan penodaan agama dapat memengaruhi proses dan hasil demokrasi.

Pilkada DKI Jakarta juga sangat memecah belah (divisive). Ada mertua marah kepada anak dan menantu yang berbeda pilihan. Juga sering ditemukan pertemanan yang rusak karena perbedaan perilaku pemberian suara (voting behavior). Pilkada DKI Jakarta yang panas berbeda dengan pemilu tingkat nasional, baik untuk lembaga legislatif (DPR dan DPD) maupun eksekutif (presiden), terakhir pada 2014. Dalam pemilu, pemilih umumnya tidak terlalu terkait emosional dengan calon atau partai pengusung. Sebaliknya, dalam pilkada, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan pemilih cenderung lebih melekat emosional dengan pasangan calon yang bertarung.

Karena itu, kekerasan yang terjadi di seputar pemilu kebanyakan terkait pilkada. Ketidakpuasan terhadap proses dan hasil pilkada tidak jarang berujung aksi massa yang mengamuk dengan merusak fasilitas umum.

Sikap emosional massa dalam menyikapi proses dan hasil pilkada juga banyak terkait kepentingan warga, baik secara politik, sosial, budaya, maupun agama. Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta bahkan isu agama menjadi terkait atau dikaitkan langsung oleh kelompok dan kalangan pemilih dengan agama.

Oleh karena itu, dalam berbagai literatur tentang pemilu lokal disimpulkan, pilkada di tingkat provinsi (negara bagian) dan kota/kabupaten pada praktiknya hampir selalu lebih penting daripada pemilu legislatif dan pemilu presiden di tingkat nasional.

Kenapa demikian? Hasil pemilu pada tingkat nasional tak terkait banyak dengan kepentingan warga di tingkat lokal. Kebijakan pada tingkat nasional malah sering mengabaikan masyarakat lokal di daerah tertentu. Pilkada seolah menjadi pertaruhan, tidak bisa ditawar-tawar, menjadi pertarungan tanpa kompromi (zero-sum game). Apalagi pilkada itu adalah Pilkada DKI Jakarta, ibu kota Republik Indonesia yang sering menjadi barometer bagi daerah lain.

Panasnya Pilkada DKI Jakarta menghasil- kan berbagai ekses yang secara substantif kebanyakan bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan). Ini terlihat, misalnya, dari penolakan pengurus masjid menshalatkan jenazah yang di masa hidupnya mendukung pasangan calon tertentu. Kasus terakhir adalah "pengusiran" calon wakil gubernur Djarot Saiful Hidayat seusai Jumatan di sebuah masjid di Tebet, Jakarta Selatan.

Berbagai ekses itu mencerminkan bahwa menjelang Pilkada DKI Jakarta terjadi kemerosotan keadaban (civility) secara signifikan. Bukan tidak mungkin, tindakan tidak berkeadaban juga muncul pada hari pencoblosan 19 April.

Memang keadaban politik mesti bisa dise- maikan kepada anak-anak dan remaja sejak dari lingkungan keluarga dan sekolah. Mereka diberi panduan tentang kewarganegaraan yang baik, misalnya tentang berdemokrasi berkeadaban, menghormati perbedaan pandangan dan sikap politik, serta menghindari terjerumus ke politik divisif dan konflik.

Para pemimpin mahasiswa dari 14 perguruan tinggi di Amerika Serikat memberikan beberapa tips tentang bagaimana menumbuhkan keadaban politik: bersedia mendengar pandangan politik berbeda; mencari komonalitas di antara pandangan dan sikap politik; mengakui legitimasi pandangan dan sikap politik berbeda; menghindari penggam- baran karikaturis dan pelabelan lawan politik; dan mempertimbangkan konsekuensi pernyataan dan sikap politik tertentu.

Meski ada panduan semacam itu, keadaban warga bisa dengan cepat merosot. Kemerosotan keadaban terjadi ketika elite politik dan elite sosial mengeluarkan pernyataan emosional. Atau mengambil langkah tertentu yang meningkatkan tensi dan ketegangan dalam masyarakat luas.

Padahal, elite sosial (dan agama) semestinya dapat menenangkan keadaan. Ketenangan sosial jelas merupakan prasyarat penting tidak hanya untuk penyelenggaraan pilkada berkualitas, tetapi juga guna memelihara kohesi sosial yang mutlak untuk stabilitas politik dan pembangunan.

Dalam konteks itu, masing-masing pasang- an calon dengan elite politik dan elite sosial keagamaan mesti mengadopsi sikap "siap menang, siap kalah" dalam menyikapi hasil pilkada. Dengan cara begitu, masing-masing pihak bisa menghindari terjerumusnya massa ke dalam aksi kekerasan dan anarki.

Penegakan kembali keadaban, seperti dalam situasi Pilkada DKI Jakarta yang panas, tak bisa hanya dengan imbauan moril kepada pasangan calon serta elite politik dan elite sosial-keagamaan. Di sini perlu peran aparat keamanan dan penegak hukum. Aparat penegak hukum, misalnya, harus memastikan tidak ada intimidasi, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat memengaruhi pemilih di tempat pemungutan suara.

Tak kurang pentingnya adalah pengamanan penghitungan suara. Aparat penegak hukum agar menjalankan tugas sebaik-baiknya untuk memastikan tidak terjadi kericuhan. Taruhannya terlalu besar untuk stabilitas politik dan pembangunan. Seyogianya semua pihak memastikan Pilkada DKI Jakarta berlangsung damai, umum, dan rahasia.

Azyumardi Azra,
Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2017, di halaman 15 dengan judul "Pilkada Berkeadaban".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Nasional
Tok! Kasasi KPK Kabul, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Tok! Kasasi KPK Kabul, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Nasional
Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

Nasional
Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Nasional
Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com