JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM semestinya mengirimkan surat pencegahan Setya Novanto ke DPR.
Sebab, saat ini Novanto berstatus sebagai pimpinan lembaga tinggi negara, yakni selaku Ketua DPR.
Menurut Fahri, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3), pimpinan DPR memiliki hak imunitas yang harus dihormati lembaga penegak hukum.
"Masa bisa pencekalan (pencegahan) hanya berdasarkan konferensi pers. Sekarang mana surat pencekalannya dari Imigrasi," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/4/2017).
"Harusnya Ditjen Imigrasi kirim surat pencekalannya ke DPR. Karena Pak Novanto ini ketua lembaga tinggi negara," ujar dia.
Fahri Hamzah menambahkan, kewenangan pencegahan itu tidak bersifat individual, tetapi berdasarkan sistem. Dengan tak adanya surat pencegahan yang dikirim ke DPR, Fahri menilai Ditjen Imigrasi tidak mengindahkan etika kelembagaan.
"Jadi ini saja suratnya belum dikirim ke DPR. Ini kan Pak Novanto Ketua DPR, pimpinan lembaga tinggi negara," kata Setya Novanto.
Sebelumnya, Fahri menilai pencegahan Ketua DPR Setya Novanto ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi melanggar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 64/PUU-IX/2011.
(Baca: Menurut Fahri, Pencegahan Novanto ke Luar Negeri Langgar Putusan MK)
Putusan tersebut membatalkan Pasal 97 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang memperbolehkan penegak hukum meminta pencegahan kepada Ditjen Imigrasi untuk mencegah seseorang ke luar negeri meski masih dalam proses penyelidikan.
Namun, pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, mengoreksi pendapat tersebut.
Yusril menyatakan permintaan pencegahan seorang saksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) diberikan oleh undang-undang yang ikut dibuat oleh DPR dengan Presiden yang tercantum pada pasal 13 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Mantan Menteri Hukum dan HAM itu mengatakan, pasal pencegahan seorang saksi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 memang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui amar putusan Nomor nomor 64/PUU-IX/2011. Dengan demikian, hanya orang yang berstatus tersangka saja yang baru bisa dicekal.
"Masalahnya, Undang-undang KPK yang membolehkan mencekal saksi, masih berlaku dan belum pernah diubah atau dibatalkan oleh MK," kata Yusril melalui keterangan tertulis, Rabu (12/4/2017).
(Baca: Yusril Ungkap Celah Hukum dalam Pencegahan Setya Novanto)