Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/04/2017, 08:50 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kisruh di internal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kian meruncing. Konflik dipicu putusan Mahkamah Konstitusi (MA) yang membatalkan Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017 soal masa jabatan pimpinan DPD 2,5 tahun.

Putusan tersebut membuat masa jabatan pimpinan kembali menjadi lima tahun. 

Namun meski ada putusan MA, pemilihan tetap dilakukan. DPD pun terbelah menjadi dua belah kubu.

Kubu yang mendukung pimpinan baru dan kubu yang yang masih menganggap pimpinan lama adalah yang sah.

Terakhir, kisruh kembali terjadi di rapat paripurna pembukaan masa sidang, Senin (11/4/2017).

Sejumlah anggota menilai tiga pimpinan baru, yakni Oesman Sapta Odang, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis ilegal.

Mereka bahkan membawa kertas karton dengan ukuran besar yang berisi kalimat protes dan penolakan.

Kisruh itu berujung pada walk out-nya sejumlah anggota. Mereka kemudian memilih menyerahkan laporan reses kepada dua pimpinan lama, GKR Hemas dan Farouk Muhammad. (Baca: "Walk Out" dari Paripurna, Sejumlah Anggota DPD Hampiri Pimpinan Lama)

Pimpinan lama juga mengaku telah menyurati Ketua MA Muhammad Hatta Ali untuk mempertimbangkan kembali atau meminta Hatta Ali mencabut sumpah jabatan tiga pimpinan baru.

Tak berhenti sampai di situ, kedua belah pihak sama-sama tak memiliki niat untuk menginisiasi pertemuan bersama untuk meredam konflik. (Baca: Dua Kubu di DPD Enggan Inisiasi Pertemuan Bersama)

Padahal, beberapa pihak menilai pertemuan bersama penting untuk kembali menyatukan internal DPD yang terbelah.

Salah satunya Senator asal Provinsi Riau, Intsiawati Ayus. Dalam forum rapat paripurna ia mengusulkan diadakan forum di luar paripurna untuk mengklarifikasi keriuhan yang telah berkepanjangan.

Usulan tersebut sempat ditanggapi positif oleh Oesman Sapta selaku pimpinan sidang.

"Forum kumpul bersama Anggota DPD selama ini sepertinya hanya di forum sidang paripurna. Eloklah kalau kita buat forum untuk mengklarifikasi semua riuh hingga ke depannya kita tidak terganggu lagi untuk agenda apapun," kata Intsiawati.

Hal serupa diungkapkan Senator asal Provinsi Jambi, Juniwati. Ia menegaskan dirinya tak memihak, baik kepada kubu Oesman Sapta maupun kubu Farouk-Hemas.

Ia tak lagi menginginkan DPD yang seolah memiliki dua kepemimpinan. 

"Masing-masing merasa benar. Kalau saya sendiri terang, saya tidak memihak orang-perorang. Yang saya cari kebenaran. Mohon, hati nurani kita," kata dia.

Sementara itu, Senator asal Provinsi Lampung, Anang Prihantoro menilai "bola panas" ada pada MA. Ketua MA diminta menjawab dengan bijak surat yang telah dilayangkan Farouk-Hemas.

Ia mengaku tak keberatan jika Oesman Sapta menjabat Ketua DPD. Anang hanya merasa keberatan dengan proses pengangkatan Oesman Sapta dan dua pimpinan lainnya yang dianggap mengangkangi putusan MA.

"Ini enggak boleh jadi contoh. Tapi kami yakin MA akan konsisten," tutur Anang.

Rakyat lelah

Perebutan kekuasaan di internal DPD menjadi sorotan publik. Sejumlah pihak meragukan konflik internal tersebut dapat segera terselesaikan karena kedua belah pihak sama-sama ngotot dengan posisinya masing-masing.

"Capek. Saya sangsi (konflik) akan cepat selesai. Saya sih berharap ada sikap dewasa dan negarawan dari para senator itu sehingga masalah bisa tuntas," ujar Faiz (27), Karyawan Swasta.

Sementara itu, warga lainnya, Nicky (24) berpendapat bahwa DPD sebagai wakil rakyat seharusnya bisa lebih menghabiskan energi mereka untuk mengurusi kepentingan rakyat alih-alih memperebutkan kekuasaan. 

KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Sejumlah anggota DPD melayangkan protes dalam rapat paripurna pembukaan masa sidang DPD pada Selasa (11/4/2017).
Terlebih, putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap turut dipermasalahkan. Hal ini semakin memperlihatkan bahwa konflik dua belah kubu sangat politis.

"Sudah kacau sih nih wakil rakyat enggak lagi menjalani esensi dari wakil rakyat itu sendiri. Kalau niatnya memang kerja untuk rakyat ya enggak bakal ada lah ribut-ribut kekuasaan kayak gini, toh yang penting kinerja mereka as a whole team kan, bukan siapa yang berkuasa dan siapa yang tidak," ucap Nicky.

Adapun warga lainnya, Diaz (23) menilai animo publik sudah tersita dengan gelaran Pilkada Serentak 2017 terutama Pilkada DKI Jakarta.

Sedangkan DPR masih berkutat pada sejumlah kepentingan. Dengan kondisi-kondisi tersebut, DPD menjadi salah satu lembaga yang dianggap bisa menjadi alternatif pengawas Pemerintahan. Namun dengan kisruh tersebut, pengawasan dinilai tak akan maksimal.

"DPD yang harusnya punya andil dalam fungsi pengawasan juga main gontok-gontokan terus siapa yang mengawasi pemerintah? Pemerintah juga bisa jadi otoriter, sewenang-wenang," kata Diaz.

"Ini negara demokrasi. Enggak usah gontok-gontokan lah kayak anak kecil, kayak anak TK," sambungnya.

Konflik tak berujung

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus melihat kisruh di internal DPD belum menunjukan titik terang akan berakhir.

Rapat paripurna dengan Oesman Sapta sebagai pimpinan, menjadi salah satu bukti bahwa aksi penolakan terhadap pimpinan baru masih ada.

(Baca: Rapat Paripurna DPD Kembali Ribut, Ini Komentar Oesman Sapta)

Riak-riak di internal masih keras. Situasi tersebut menurutnya amat memprihatinkan. Apalagi DPD tengah berjuang untuk mendapatkan kewenangan yang lebih kuat.

Namun, dengan terbelitnya lembaga mereka terhadap problem internal, mimpi mendapatkan penguatan wewenang tersebut nampak semakin jauh.

DPD gagal meyakinkan publik bahwa mereka layak didukung untuk menapatkan kewenangan lebih.

"Kisruh ini akan sulit terselesaikan dalam waktu yang singkat," ujar Lucius saat dihubungi, Senin malam.

Konflik yang kian larut tersebut dianggap telah membuktikan bahwa konflik DPD bukan sebuah dinamika lembaga yang biasa-biasa saja, namun didorong oleh semangat mengejar kekuasaan oleh kelompok tertentu.

Kelompok yang seolah tak memedulikan nasib lembaga DPD melainkan mengabdi pada kepentingan politik.

(Baca: Lagi, Rapat Paripurna DPD Ribut soal Kursi Pimpinan)

"Saya kira ini hanya gambaran bahwa jika tak segera diselesaikan, konflik yang melanda DPD saat ini seakan-akan menjadi bagian dari proses penghancuran DPD ke depannya," tutur dia.

Jalan keluar hukum pun dianggap menjadi satu-satunya jalan penyelesaian konflik. Sebab, penyelesaian lewat jalur politik dinilai rentan dihantui intimidasi dan transaksi.

Meski MA telah memandu sumpah jabatan tiga pimpinan baru, namun hal itu masih menyisakan celah hukum karena sumpah jabatan tidak dipandu langsung oleh Ketua MA seperti diamanatkan undang-undang.

Sikap Ketua MA Muhammad Hatta Ali pun amat ditunggu-tunggu untuk melihat harapan titik terang dari konflik berkepanjangan tersebut.

"MA yang menyumbang andil konflik dengan sikap yang tidak konsisten harus bertanggung jawab dalam mencari solusi. MA tak bisa bersembunyi dibalik apapun untuk mencuci tangannya dari konflik yang ada di DPD," ujar Lucius.

Kompas TV Adu Interupsi di Rapat Paripurna DPD
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com