JAKARTA, KOMPAS.com – Mahkamah Agung dinilai tak konsisten atas putusannya terkait pelantikan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dengan melakukan pelantikan terhadap Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD dan dua wakilnya, MA dianggap telah membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib.
Kedua peraturan itu mengatur tentang perubahan masa jabatan unsur pimpinan DPD dari lima tahun menjadi 2,5 tahun.
Dengan dibatalkannya putusan tersebut, maka tidak ada dasar hukum untuk mengganti dan memilih unsur pimpinan DPD periode April 2017-September 2019.
“Tapi dengan keputusannya yang tetap melantik pimpinan DPD yang baru tersebut, maka itu benar-benar tindakan konyol. Karena semua orang tidak tahu keputusan MA itu atas dasar apa,” kata anggota Komisi III DPR Taufiqulhadi, melalui keterangan tertulis, Jumat (7/4/2017).
(Baca: "Kalau MA Konsisten, Seharusnya Tak Pandu Sumpah Jabatan Pimpinan DPD")
Politisi Nasdem itu menilai, ada dua ketidakpahaman MA atas putusannya melantik Pimpinan DPD.
Pertama, MA tak mempertimbangkan ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA bahwa putusan berlaku seketika setelah putusan dibacakan.
Dengan demikian, jika sebuah peraturan dibatalkan, maka peraturan itu tidak berlaku setelah putusan dibacakan.
“Kedua, dengan MA melantik pimpinan DPD, maka secara yuridis MA melawan produk putusannya sendiri,” ujar Taufiq.
Menurut Taufiq, sikap MA akan menjadi preseden buruk ke depan.
(Baca: Pemilihan Pimpinan Baru DPD Dinilai Menyimpang)
Ia menilai, MA telah menunjukkan sikap ketidaktaatan atas putusan pengadilan kepada masyarakat secara luas.
“Dan kepada lembaga negara yang dilantik juga akan bermasalah. Karena lembaga tersebut akan terus menerus diperranyakan keabsahannya,” kata dia.