JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai sah kepemimpinan Oesman Sapta Odang di Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Yusril mengatakan, terpilihnya Oesman Sapta sebagai ketua DPD, dan Nono Sampono serta Darmayanti Lubis selaku wakil ketua DPD tetap sah, meskipun berpegang pada Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017 yang telah dibatalkan Mahkamah Agung (MA).
Sebab, menurut Yusril, sifat putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam hal uji materi berbeda.
Karena itu, tutur Yusril, kekisruhan masalah pimpinan DPD ini kalau dilihat dari sudut perundang-undangan sebenarnya disebabkah oleh mekanisme uji materiil yang dilakukan oleh MA.
Lunak
Jika MK memutuskan norma undang-undang, sebagian atau seluruhnya, bertentangan dengan UUD 1945, maka putusan itu berlaku seketika, yakni ketika palu sudah diketok oleh ketua MK dalam sidang yang terbuka untuk umum.
"Beda dengan MK yang bersifat tegas dalam menjalankan kewenangannya menguji undang-undang, MA menjalankan kewenangannya menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dengan cara yang lunak," kata Yusril Ihza Mahendra melalui keterangan tertulis, Kamis (6/4/2017).
Yusril melanjutkan, putusan MA yang membatalkan sebuah peraturan tidaklah berlaku serta-merta, melainkan diperintahkan kepada lembaga atau instansi yang membuat peraturan itu terlebih dahulu untuk mencabutnya.
Jika lembaga itu tidak mencabutnya dalam waktu 90 hari, maka barulah peraturan yang dibatalkan MA dalam uji materi tidak berlaku dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat lagi.
Ketentuan ini diatur dalam beberapa peraturan MA, dan terakhir dalam Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2012 yang sampai sekarang masih berlaku.
"Menurut hemat saya, peraturan uji materi MA yang dibuatnya sendiri menjadikan MA tidak sejajar dengan MK dalam melaksanakan kewenangan uji materi yang juga diberikan oleh UUD 1945, sehingga membuat dirinya sendiri menjadi kurang berwibawa dalam hal uji materi," tutur Yusril Ihza Mahendra.
"Saya sudah mengingatkan Ketua MA Hatta Ali, tak lama setelah beliau dilantik menjadi ketua, akan kelemahan Peraturan MA tentang uji materi itu dan meminta beliau untuk segera memperbaikinya. Namun, belum juga dilakukan," kata dia.
Yusril mengungkapkan, arsitek penyusunan peraturan MA tentang uji materil itu adalah mendiang Paulus Effendi Lotulung yang waktu itu menjadi Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara.
Ia memang seorang guru besar hukum administrasi negara dan berkarir sebagai hakim tata usaha negara (TUN). Karena itu, lanjut Yusril, tidak heran jika peraturan hak uji materi MA tampak bergaya hukum acara peradilan TUN.
"Padahal, hakikat kewenangan MA dalam menguji peraturan sangatlah berbeda dengan kewenangannya mengadili sengketa tata usaha negara," ucap Yusril.
"Kalau MA sudah menyatakan batal suatu peraturan perundang-undangan, maka putusan itu seharusnya berlaku serta-merta dan tidak memerlukan eksekusi dalam bentuk pencabutan oleh institusi yang membuatnya," ujar dia.
Yusril menambahkan, kelemahan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2012 itulah yang menjadi faktor utama yang menyebabkan kisruh di DPD.
Pimpinan DPD sebelumnya, GKR Hemas dan Prof Farouk Muhammad, mengira putusan MA tanggal 29 Maret 2017 yang membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur masa jabatan Pimpinan DPD hanya 2,5 tahun berlaku serta merta.
Padahal peraturan itu masih tetap berlaku sebelum dicabut oleh pimpinan DPD atau belum lewat waktu 90 hari sejak putusan dibacakan oleh MA.
(Baca juga: Lantik Pimpinan DPD, MA Beralasan Tunduk pada Hukum)
Manfaatkan kelemahan
Selain itu, Yusril menyatakan, pihak Oesman Sapta juga memanfaatkan kelemahan administrasi putusan MA, yakni salah ketik dalan diktum putusannya yang membatalkan Peraturan Tatib DPD itu.
Amar putusan bukannya memerintahkan kepada pimpinan DPD untuk mencabut Peraturan Tatib yang dibatalkan itu, melainkan "memerintahkan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD)" untuk mencabut Peraturan Tatib DPD yang dinyatakan batal oleh MA.
"OSO (Oesman Sapta Odang) bilang, mana bisa pimpinan DPRD mencabut Peraturan Tata Tertib DPD. Walau terdengar lucu, omongan OSO ini benar. MA telah salah dalam membuat putusan," kata Yusril.
Ia menyatakan, kesalahan seperti itu, dalam sebuah putusan yang telah dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan telah pula dimuat dalam website MA, tidaklah dapat dikoreksi begitu saja dengan mengatakannya sebagai salah ketik belaka.
Jika MA menulis salah nama orang yang dijatuhi pidana dalam perkara tingkat kasasi, maka untuk memperbaikinya tidak bisa diralat begitu saja, melainkan harus melalui putusan peninjauan kembali (PK), atau putusan itu menjadi "non executable".
(Baca juga: Ini Putusan MA soal Tata Tertib Terkait Kursi Pimpinan DPD)
Namun, putusan MA atas Tatib DPD ini merupakan hasil uji materi yang tak ada lagi proses peninjauan kembalinya. Artinya, putusan itu tidak dapat dieksekusi.
Sehingga, tutur Yusril, Peraturan Tata Terib DPD sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPD Nomor 1 Tahun 2017 sudah dibatalkan MA dalam perkara uji materil tanggal 29 Maret 2017 masih tetap berlaku.
Sebab. peraturan tersebut belum belum dicabut oleh pimpinan DPD atau belum lewat waktu 90 hari sejak putusan dibacakan.
"Bahkan kalau mengikuti ucapan OSO yang lebih ekstrem lagi, putusan MA yang membatalkan Peraturan Tatib DPD itu tergolong sebagai putusan yang "non executable" atau putusan yang tidak dapat dieksekusi," tutur Yusril.
"Karena semua orang tahu bahwa pimpinan DPRD manapun tidaklah punya kewenangan untuk mencabut Peraturan Tata Tertib DPD," ujar Yusril.