KOMPAS.com – Perempuan Indonesia ditengarai masih teramat rentan menjadi korban kekerasan, baik fisik maupun seksual. Sebagian besar pelaku juga bukan orang yang tidak dikenal korban.
Survei Badan Pusat Statistik (BPS), misalnya, menyebut 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun pernah menjadi korban kekerasan.
“1 dari 10 perempuan usia 15-64 tahun mengalaminya (kekerasan ini) dalam 12 bulan terakhir,” demikian BPS melansir data pada 30 Maret 2017.
Data tersebut merupakan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 dengan melibatkan 9.000 responden dari seluruh Indonesia.
Dari lokasi, survei BPS menemukan, kasus kekerasan terhadap perempuan cenderung lebih tinggi terjadi di perkotaan dibandingkan di pedesaan. Angkanya, 36,3 persen berbanding 29,8 persen.
Dalam pernikahan, kasus kekerasan diakui terjadi oleh 2 dari 11 perempuan yang menjadi responden. Jenis kekerasannya cenderung berupa kekerasan fisik daripada seksual.
Bentuknya, mulai dari tamparan, pukulan, dorongan, jambakan, tendangan, hingga benar-benar dihajar.
“Kekerasan seksual merupakan (bentuk kekerasan) yang paling banyak dilakukan oleh (pelaku) selain pasangan (alias orang lain),” tulis hasil survei itu.
Masuk dalam definisi survei, pelaku selain pasangan mencakup antara lain orangtua, mertua, tetangga, kakek, paman, sepupu, teman, guru, dan orang tak dikenal.
Wujud kekerasan seksual tersebut mulai dari komentar atau pesan, sentuhan atau rabaan, gambar mesum, hingga paksaan hubungan seksual.
“Ini merupakan survei pertama di Indonesia yang khusus menggali informasi kekerasan terhadap perempuan,” ujar Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers terkait hasil survei ini, seperti dirilis harian Kompas, Jumat (31/3/2017).
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Vennetia Ryckerens Danes mengatakan, hasil survei ini akan menjadi bahan evaluasi dan dasar penyusunan program serta kebijakan Pemerintah terkait perlindungan perempuan.
”Selama ini data kekerasan yang dipakai hanya berdasarkan data terlaporkan, seperti gunung es, hanya terlihat puncaknya,” ujar Vennetia, seperti dikutip harian Kompas.
Tingginya angka kekerasan yang dilakukan oleh selain pasangan, juga menjadi perhatian tersendiri.
”Ini jadi peringatan. Kita harus angkat kekerasan perempuan jadi extra ordinary crime agar mendapat perhatian lebih,” kata Suhariyanto.