JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, rencana hukuman mati diubah menjadi hukuman alternatif, tidak sepenuhnya dapat menjawab persoalan perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Koordinator Kontras Yati Andriyani mengatakan, rencana kebijakan itu sama sekali masih bertolak belakang dengan prinsip hak untuk hidup adalah hak yang harus dilindungi dan tidak dapat dikurangi oleh siapapun.
"Sebab faktanya, pidana hukuman mati masih tetap dicantumkan dalam revisi UU KUHP, yakni pada tindak pidana terorisme, makar, kejahatan narkotika dan pembunuhan berencana," ujar Yati kepada Kompas.com, Kamis (30/3/2017).
(baca: Revisi KUHP, Yasonna Sebut Hukuman Mati Akan Jadi Hukuman Alternatif)
Rencana kebijakan ini malah menunjukan kegamangan pemerintah dalam menerapkan perlindungan dan jaminan hak atas hidup yang sebenarnya telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Kovenan Hak sipil Politik Pasal 6 yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia.
Yati juga menyoroti perihal adanya masa waktu seorang terpidana mati bisa dialihkan hukumannya menjadi penjara seumur hidup atau penjara dengan masa waktu yang lebih pendek jika menunjukan pertobatan.
"Memastikan apakah seorang terpidana mati dapat memperbaiki dirinya dalam 10 tahun misalnya, itu sangat tergantung pada sejauh mana konsep ideal rehabilitasi di dalam Lapas dapat diterapkan," ujar Yati.
"Mengingat justru saat ini Lapas dengan segala persoalannya masih sangat rentan menjadi sumber kejahatan itu sendiri. Misalnya, menjadi tempat pengendalian narkotika atau terpidana terorisme yang justru semakin radikal setelah keluar penjara," lanjut dia.
(baca: Menkumham Yakin Aturan Baru soal Hukuman Mati Akan Bebas Penyelewengan)
Artinya, berharap seorang terpidana mati bertobat tanpa disertai perbaikan konsep rehabilitasi dan mereformasi Lapas adalah sia-sia.
Sang terpidana mati diyakini akan sulit bertobat dan ujung-ujungnya tetap akan dieksekusi mati. Ini tetap bertentangan dengan prinsip HAM.
Kontras masih berharap supaya pemerintah dan DPR RI benar-benar menghapuskan hukuman mati dari hukum positif di Indonesia.
(baca: Kejagung Tengah Persiapkan Eksekusi Mati Jilid IV)
Hukuman mati di Indonesia direncanakan tidak lagi menjadi hukuman pokok. Hukuman mati nantinya bakal menjadi hukuman alternatif saja.
"Dalam rencana revisi UU KUHP memang mau dibuat begitu. Hukuman mati nantinya akan menjadi hukuman alternatif saja," ujar Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Rabu (29/3/2017).
Nantinya, seorang narapidana yang divonis hukuman mati akan dipantau oleh tim independen di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
Jika sang napi dinilai bertobat, maka hukuman mati bisa dibatalkan dan diganti dengan hukuman penjara dengan masa tertentu.
"Misalnya (dinilai) 10 tahun, dia berkelakuan baik, ada pertobatan, bisa diubah," ujar Yasonna.
Tim independen tersebut sendiri akan dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah. PP itu juga akan mengatur kriteria seorang terpidana mati yang dapat dialihkan hukumannya.
Revisi UU KUHP di DPR itu sendiri berlangsung cepat. Jika tidak ada aral melintang, UU hasil revisi akan diputuskan pada bulan Mei 2017 yang akan datang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.