Perdagangan anak
Hasil studi Organisasi Buruh Sedunia (ILO) menunjukkan di dunia sekitar 12,3 juta orang terjebak dalam kerja paksa. Dari jumlah itu, sekitar 9,5 juta berada di Asia. Sisanya tersebar, 1,3 juta di Amerika Latin dan Karibia, 660.000 di Sub-Sahara Afrika, 260.000 di Timur Tengah dan Afrika Utara, 360.000 di negara-negara industri, dan 210.000 di negara-negara transisi. Sekitar 40-50 persen anak di bawah 18 tahun.
Indonesia berada di urutan kedua kejahatan perdagangan manusia yang melibatkan kekerasan maupun eksploitasi seksual terhadap anak-anak pada 2012. Menurut PBB, Indonesia masuk wilayah tujuan, transit dan negara asal (sending, transit and producing area) untuk perdagangan manusia. Penyebab utama maraknya praktik ini karena impitan ekonomi dan tak tersedianya lapangan kerja, tingkat pendidikan yang rendah, tingkat keamanan yang rendah, dan kurangnya rasa peduli pemerintah sehingga peluang-peluang itu diambil oknum-oknum tak bertanggung jawab. Anehnya, bos besar perdagangan manusiatak pernah tertangkap di Indonesia maupun di luar negeri, padahal sudah banyak korban.
Salah satu penyebab kian maraknya perdagangan manusia adalah keuntungan yang diperoleh pelakunya sangatlah besar, mencapai 32 miliar dollar AS setiap tahun menurut ILO. Menurut PBB, perdagangan manusia adalah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia, menghasilkan sekitar 9,5 juta dollar AS dalam pajak tahunan, dan salah satu perusahaan kriminal paling menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian uang, perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen, dan penyeludupan manusia.
Di Indonesia, kasus perdagangan anak telah mencapai tingkat sangat memprihatinkan. Perdagangan anak ini sangat berhubungan erat dengan kesejahteraan penduduknya. Sebagian besar anak yang diperjualbelikan berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi, dengan pelaku tak jarang orangtuanya sendiri.
Negara, dalam hal ini pemerintah, terbilang sangat peduli dan telah menyediakan beberapa ”amunisi” untuk melindungi hak-hak anak penerus generasi bangsa. Terdapat empat UU yang memiliki poin-poin krusial berkenaan dengan permasalahan hak asasi anak, yakni UU Kesejahteraan Anak, UU Hak Asasi Manusia, UU Konservasi Anak, serta UU Hukum Pidana. Namun, penerapannya terbukti banyak hambatan karena berbenturan dengan sistem sosial dan akar budaya Indonesia yang sebagian besar masih mendiskriminasikan anak-anak dan wanita.
Permasalahan perdagangan manusia seperti fenomena gunung es yang kita belum mampu mengalkulasi datanya dengan pasti sampai ke dasarnya. Di Indonesia, Protokol PBB tentang Trafficking diadopsi dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan PerdaganganPerempuan dan Anak. RAN dikuatkan dalam bentuk Keppres RI Nomor 88 Tahun 2002.
Hampir semua pola perdagangan ilegal dan perbudakan memerlukan tanggapan bilateral dan multilateral. Artinya, dengan melibatkan beberapa negara dengan yurisdiksi yang berbeda-beda. Perlu kerja sama dan peraturan bersama, misalnya tentang pemulangan korban dan peradilan pidana. Nantinya, Konvensi ASEAN Anti Perdagangan manusia bisa menjadi instrumen penting memerangi perdagangan manusia dengan lebih efektif.
Berikut beberapa saran untuk mengatasiperdagangan manusia. Pada level komunitas, memberikan pelatihan padat karya kepadakomunitas-komunitasyang belum mempunyai kemampuan untuk meningkat perekonomian komunitas dan memberikanpengetahuan tentang perdagangan manusia. Pada level nasional antara lain menegakkanUU No 21 Tahun 2007, meningkatkan keamanan penjagaan di perbatasan negara, baik darat maupun laut dan udara, meningkatkan keamanan di imigrasi (izin keluar negeri), meningkatkan lapangan kerja, meningkatkan pendidikan, menutup tempat-tempat yang berpotensi terjadi eksploitasi seksual.
Pada level luar negeri antara lain meningkatkan hubungan kerja sama antar-negara, mengadakan operasi bersama, dan membentuk organisasi untuk memerangi perdagangan orang.
Bibit Santoso,
Mayjen TNI (Purn), Tenaga Profesional Bidang Sosial, Budaya, dan Pertahanan Lemhannas RI
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Menyikapi Perdagangan Manusia".