JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa dugaan suap, mantan anggota Komisi V DPR, Andi Taufan Tiro.
Jaksa meminta agar hakim mencabut hak politik mantan anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut.
"Menuntut supaya majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan, mencabut hak terdakwa menduduki jabatan publik, 5 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok," ujar jaksa Abdul Basir, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (29/3/2017).
Menurut jaksa, pada persidangan terungkap bahwa uang suap sebesar Rp 7,4 miliar yang diterima Andi digunakan untuk membiayai kepentingan pribadi.
Ia menyebutkan, di antaranya untuk berlibur ke Eropa, Umroh, dan membiayai operasional politik.
Menurut jaksa, penggunaan uang hasil kejahatan untuk kegiatan politik adalah bentuk perbuatan yang merusak tata kelola pemerintahan yang baik.
(Baca: Andi Taufan Tiro Dituntut 13 Tahun Penjara)
Padahal, menurut hakikatnya, politik adalah salah satu tujuan bernegara.
"Dapat disimpulkan bahwa terdakwa telah menggunakan wewenang yang ada pada jabatannya untuk mendapat keuntungan pribadi, keluarga, kolega atau kelompoknya," kata jaksa.
Menurut jaksa, untuk menghindari negara dikelola oleh pejabat publik yang menyalahgunakan wewenang, maka diperlukan pencabutan hak politik.
Pidana tambahan itu juga bertujuan untuk melindungi publik atau masyarakat dari fakta, informasi atau persepsi yang salah tentang calon pemimpin yang akan dipilih.
Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 35 ayat 1 KUHP.
Andi dituntut 13 tahun penjara oleh jaksa KPK. Andi juga dituntut membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Menurut jaksa, Andi terbukti menerima suap sebesar Rp 7,4 miliar.
(Baca: Politisi PAN Andi Taufan Tiro Didakwa Terima Suap Rp 7,4 Miliar)
Suap tersebut terkait program aspirasi anggota Komisi V DPR untuk proyek di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Menurut jaksa, uang Rp 7,4 miliar tersebut diberikan agar Andi menyalurkan program aspirasinya dalam bentuk proyek pembangunan infrastruktur jalan di wilayah Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara.