YOGYAKARTA - Hasil penelitian tim Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada menunjukkan, petisi dalam jaringan belum digunakan secara efektif sebagai alat advokasi kebijakan. Meski jumlah pengguna petisi dalam jaringan semakin banyak, belum ada lembaga berpayung hukum yang menampung kegiatan ini.
Berdasarkan jumlah petisi dalam jaringan (daring) change.org Indonesia dari Februari 2016 hingga Februari 2017, dari total 1.521 petisi, hanya empat petisi yang berhasil memberi dampak perubahan. "Kesamaan dari keempat petisi tersebut adalah sama-sama terdapat upaya advokasi langsung di dunia nyata terhadap pihak sasaran petisi. Hal ini menunjukkan, demokrasi digital di Indonesia tidak bisa bergerak sendiri dalam upaya advokasi," ujar peneliti Center for Digital Society (CFDS) UGM, Chiara Anindya, Kamis (23/3).
Ada dua petisi yang sepintas berhasil mendapat respons dan tindak lanjut dari pihak sasaran petisi daring. Pertama, terkait remaja berpaspor Perancis, Gloria Natapraja Hamel, sebagai tim penurun bendera pusaka dalam upacara penurunan bendera di Istana Negara saat Hari Ulang Tahun Ke-71 RI. Kedua, penolakan terhadap rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 terkait pengetatan remisi napi korupsi.
"Namun, kami tidak menemukan korelasi langsung antara jumlah pendukung petisi dan keberhasilan dua petisi itu. Peran media massa juga besar dalam memengaruhi kebijakan pengambil keputusan," ujar Chiara.
Managing Director CFDS Dedy Permadi menyayangkan belum adanya lembaga yang menampung petisi-petisi itu. Imbasnya, tidak ada kewajiban pemerintah menjawab petisi yang sudah terakumulasi. Di Amerika Serikat, petisi daring akan ditampung Gedung Putih. Ada aturan tertulis, apabila petisi didukung 100.000 orang sebelum 30 hari, pemerintah wajib menjawab petisi tersebut. (DIM)
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Maret 2017, di halaman 2 dengan judul "Advokasi Lewat Petisi Daring Belum Efektif".