Adakah landasan pemikiran dan kebijaksanaan lain yang bisa menuntaskan kecamuk dunia modern yang sedang kita lintasi?
Pertumbuhan dan perubahan cara kita berkomunikasi dengan kehadiran internet—khususnya media sosial, telah "menjawab" kegelisahan umat manusia sejak lama: eksistensi.
Kini, siapa pun manusianya, di mana pun ia berada, tersambung aktif dengan dunia lain. Dunia dalam piksel. Ia dapat melakukan apa saja sekehendak hati. Sesukanya saja. Data yang beraduk dengan informasi, bertumbukan tanpa saringan.
Semua manusia yang terhubung dengan internet dan memilik akun media sosial, seketika menemukan media penemuan diri yang sebelumnya tak bisa ia dapatkan.
Media sosial, memberi ruang penuh bagi pemilik akun untuk eksis dengan cara masing-masing. Dunia perlu tahu tentang mereka. Tapi mereka tak pernah mau tahu seperti apa wajah dunia senyatanya.
Masyarakat hyperreality seperti ini, adalah fenomena baru abad kita. Mereka abai dengan kenyataan sejati. Bahkan kehilangan empati-simpati pada sekelilingnya. Pada manusia lain.
Wajar jika perang berdarah-darah di Timur Tengah dan Afrika sana, seolah berlalu tanpa simpati. Perang dalam sepi. Kendati ada begitu banyak orang yang mengetahui soal itu, mereka nyaris tak bisa melakukan apa pun. Kecuali hanya berbagi b(c)erita, saling menitip like/love, hingga kemudian melupa.
Corak masyarakat yang kian banal, jadi pemandangan umum dunia kita sekarang. Sedikit saja manusia yang kemudian sanggup menarik diri dari dunia maya yang sarat tipu daya dan membuai itu.
Kaidah emas?
Karen Armstrong bersama gerakan compassion-nya (welas asih), mengajak kita untuk kembali menerapkan kaidah emas yang telah dikembangkan para pembaru kehidupan dari zaman aksial, seperti Lao Tze, Siddharta, Socrates, Isa, Muhammad Saw, dan Mpu Prapanca.
Lalu pertanyaannya, berapa banyak manusia yang mau melakukan kaidah semacam itu?
Seabad lalu, dunia kita pernah jadi saksi kelahiran-kehadiran manusia adiluhung yang suaranya masih bergema hingga sekarang. Mereka adalah Jean Jaures, Gandhi, Iqbal, Sukarno, Teresa, Mandela, dan Dalai Lama (yang masih hidup).
Mereka tampil sebagai penyintas ruang-waktu, jadi spirit zaman di mana mereka tumbuh berkembang. Kegelisahan mereka melintasi batas terjauh hidupnya. Pemikiran mereka bertahan dari kerapuhan. Kebijaksanaan yang mereka miliki, adalah obat bagi begitu banyak jiwa yang terkoyak—bahkan hingga kini.
Sayangnya, apa yang telah mereka tinggalkan untuk kita, hanya jadi artefak belaka. Kehidupan emas mereka, tak berhasil kita gali.