Kematian Kim Jong Nam diduga karena racun mematikan. Modus operandinya, pelaku mendekati korban kemudian membekap dengan sapu tangan beracun. Pelakunya diduga Siti Aisyah (25), warga negara Indonesia. Di Malaysia, ia berstatus pramuniaga klub salon. Menurut Siti, ia sempat didekati pria misterius. Ia mengaku diajak shooting reality show untuk mengerjai orang di bandara dan terjadilah pembunuhan itu.
Kenyataan tersebut menunjukkan perlunya "latihan" dan kemampuan tertentu untuk menjalankan rencana matang. Hal itu tidak berbeda dengan kasus pembunuhan Munir. Kronologisnya, tiga jam setelah naik pesawat dengan kode penerbangan GA-974 dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot bahwa penumpang pada tempat duduk 40G menderita sakit setelah Munir bolak-balik ke toilet. Penerbangan Singapura-Amsterdam membutuhkan waktu 12 jam, tetapi dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schiphol Munir tewas. Lima hari kemudian kepolisian Belanda mengumumkan Munir diracun.
Satu tersangka
Kematian Munir telah membawa Pollycarpus Budihari Priyanto sebagai tersangka. Pada 20 Desember 2005, dia dijatuhi vonis 14 tahun penjara.
Delapan tahun kemudian, Sabtu (29/11/2014), Pollycarpus bebas bersyarat dari penjara Sukamiskin, Bandung. Sampai sejauh ini, motif pembunuhan yang terungkap ke publik adalah rasa "nasionalisme yang tinggi" sehingga dia bermaksud menghentikan pengkritik pemerintah.
Nyatanya tantangan pada masa lalu berbeda dengan masa kini. Ada tiga fakta penting untuk masa depan. Pertama, tantangan bagi rasionalitas kebangsaan. Kasus-kasus tersebut telah menempatkan rasionalitas tentang pembunuhan dalam konteks nilai-nilai kebangsaan. Rasionalitas itu pula yang dijadikan legitimasi pembenar, baik bagi mereka yang tergabung dalam kepemerintahan maupun di luarnya.
Kedua, lolosnya para penjahat dari kerangka jerat hukum masa kini. Fakta, hasil penelusuran rasional menunjukkan bahwa para pelaku yang dihukum berada dalam fungsi "tenaga lapangan" dari sebuah tujuan yang ditetapkan pemegang kekuasaan. Sejauh ini kasus pembunuhan berencana tersebut tidak pernah mampu mengungkap para pelaku di balik pelaku lapangan.
Ketiga, munculnya absurditas kemanusiaan. Perangkat rasionalitas yang telah terbangun selama ini untuk mengembangkan nilai kemanusiaan menjadi benteng ringkih ketika berhadapan dengan kejahatan terencana para pemegang kekuasaan.
Saifur Rohman
Pengajar Filsafat Universitas Negeri Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Maret 2017, di halaman 7 dengan judul "Absurditas Kemanusiaan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.