JAKARTA, KOMPAS.com - Revisi Undang-Undang Pemilihan Umum tengah digarap oleh pemerintah dan DPR, untuk dijadikan landasan dalam pemilu serentak 2019.
Salah satu yang menjadi perhatian masyarakat adalah terkait sistem pemilihan. Dalam draf RUU Pemilu, Pasal 138 ayat (2) dan (3), pemerintah mengusulkan sistem proporsional terbuka-terbatas.
Direktur Politik Dalam Negeri Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bakhtiar mengatakan, awalnya pemerintah menilai sistem terbuka akan melemahkan partai politik.
Sebab, partai dapat mengambil seorang tokoh yang sudah terkenal untuk menjadi pengumpul suara (vote getter) dan tidak melakukan kaderisasi.
"Ini sistem di negara yang tidak maju. Sistem terbuka, partai tidak melakukan kaderisasi, hanya mengambil tokoh," kata Bakhtiar dalam diskusi di Pusat Kajian Strategi Nasional (PPSN), Jakarta, Senin (20/3/2017).
Menurut Bakhtiar, sistem proporsional terbuka justru dapat menjadi penyakit bagi demokrasi. Politik uang menjadi terbuka untuk masuk ke dalam kehidupan sosial masyarakat.
"Oleh karena itu, pemerintah menilai sistem pemilu yang terbaik untuk memperkuat sistem kepartaian kita adalah sistem tertutup," kata Bakhtiar.
Meski demikian, sistem proporsional tertutup dinilai seperti membeli kucing dalam karung. Pemilih nantinya hanya disajikan untuk memilih partai politik, tanpa tahu siapa saja yang akan dijadikan calon legislatif oleh partai politik.
Oleh karena itu, menurut Bakhtiar, pemerintah mempertimbangkan sistem proporsional terbuka.
Kemudian, pemerintah mengusulkan sistem proporsional terbuka terbatas sebagai alternatif, juga kompromi dari sistem terbuka dan sistem tertutup.
(Baca juga: Sistem Pemilu Terbuka Terbatas Dinilai Bertolak Belakang dengan Reformasi)
Keterbukaan terletak pada transparansi daftar nama calon legislatif meski masyarakat memilih gambar partai. Adapun urutan calon legislatif ditentukan oleh partai.
"Kami yakin sistem terbuka akan merusak sistem kepartaian. Karena hulu sistem politik kita adalah partai politik. Kalau sistem (pemilu) yang kami bangun tidak memperbaiki sistem di hulu maka ini akan mematikan demokrasi," ujar Bakhtiar.