JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mendukung usulan penggunaan hak angket untuk menyelidiki ketidakberesan dalam pengusutan kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP).
Usul ini diajukan oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
"Kalau saya melihat itu tergantung pada mereka yang mungkin dirugikan namanya. Sebagai usul bagus-bagus saja," kata Fadli Zon di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/3/2017).
(Baca: Disebut Dalam Dakwaan Kasus E-KTP, Golkar Pertimbangkan Langkah Hukum)
Fadli menilai, usulan ini bisa saja terealisasi apabila mendapat dukungan dari para anggota DPR, khususnya mereka yang merasa dirugikan dengan penyebutan nama.
Untuk membentuk hak angket, diperlukan usulan dari 25 anggota DPR dari dua fraksi. Hak angket yang diajukan juga harus disetujui oleh 50 persen plus 1 anggota DPR yang hadir dalam rapat Paripurna.
"Tergantung mereka. Bisa saja, maksudnya untuk mengoreksi sistem kinerja juga. Bagaimana sejauh ini, masalah, dakwaan ini kan baru sepihak. Saya kira itu perlu diperdalam lah," ucap Fadli.
Sama seperti Fahri, Fadli juga mencium adanya kejanggalan dalam pengusutan kasus e-KTP ini.
(Baca: Menurut PDI-P, Tak Perlu Hak Angket E-KTP)
Pertama, kasus ini sudah mencuat sejak 2009, namun baru ramai kembali dalam beberapa waktu terkahir.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga, lanjut Fadli, pada 2014 lalu sudah menyatakan tidak ada kerugian negara.
Dasar kerugian negara yang digunakan KPK adalah dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Ini perlu dipelajari sebenarnya sumber informasi yang benar atau yg tepat darimana sehingga tak ada orang yang dirugikan," ucap Fadli.
Fadli juga mengkritik KPK yang tidak bisa menjaga kerahasiaan surat dakwaan. Sebelum sidang digelar, foto surat dakwaan sudah bocor melalui media sosial sehingga membuat kehebohan.
(Baca: Soal Nama-nama di Kasus E-KTP, KPK Tegaskan Informasi Tak Hanya dari Nazaruddin)
"Harusnya, kalau memang terjadi korupsi ya dibuktikan saja terjadi. Tentu mereka yang terlibat siapapun harus patuh kepada hukum," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.
"Kalau tidak ya harus direhabilitasi karena ini merugikan, seolah politik semuanya kotor. Saya kira termasuk Institusi DPR juga harus direhabilitasi," tambahnya.