KOMPAS.com – Hingga awal pekan lalu, topik e-KTP di pemberitaan dan media sosial masih lebih banyak berkutat soal blanko kartu identitas yang tak kunjung ada. Janji penyediaan kartu tersebut pada awal 2017 tak kunjung terwujud.
Kira-kira, kicauan dan unggahan status di media sosial tak jauh-jauh dari, “Bagaimana sih ini, blanko e-KTP kok belum juga ada. Masa ngurus KTP sampai berbulan-bulan begini?”
Namun, di pertengahan pekan ini, tepatnya Kamis (9/3/2017), hiruk-pikuk soal e-KTP mendadak bergeser ke dugaan korupsi pengadaannya. Semua bermula dari persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta.
Sidang dengan dua terdakwa mantan pejabat di Kementerian Dalam Negeri itu—Irman dan Sugiharto—menghentak publik. Satu lagi babak drama terkait upaya menghadirkan identitas tunggal untuk berbagai dokumen dan pelayanan publik ini mencuat.
Dalam dakwaan perkara, jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut sejumlah nama petinggi negeri—baik dari unsur pemerintah maupun partai politik—diduga menerima aliran dana dari proses pengadaan e-KTP pada 2010.
(Baca juga: Kasus E-KTP Libatkan Nama Besar, KPK Harap Tak Ada Guncangan Politik)
Dari nilai anggaran Rp 5,9 triliun, 34 persen di antaranya diduga mengalir kepada sejumlah pejabat di Kementerian Dalam Negeri dan anggota DPR periode 2009-2014.
Setelah dikurangi pajak sekitar 11,5 persen, nilai nominal yang tersebar tersebut tetap bikin tercengang. Negara diduga dirugikan tak kurang dari Rp 2,3 triliun!
Masih ingat dengan M Nazaruddin? Setidaknya pada 2013, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini berkicau soal dugaan bagi-bagi duit dalam proyek e-KTP.
(Baca: Nazaruddin: "Mark-up" Proyek E-KTP Rp 2,5 Triliun)
Salah satu yang terekam dalam catatan Kompas.com adalah pernyataannya pada Senin (23/9/2013). Waktu itu dia masih berstatus saksi untuk perkara lain yang juga ditangani KPK.
“Jadi gini, proyek nilainya Rp 5,9 triliun, saya, (Setya) Novanto, semua merekayasa proyek ini mark-up Rp 2,5 triliun,” kata Nazaruddin di Gedung KPK.
Mereka yang juga disebut namanya
Sejumlah nama yang disebut dalam dakwaan memang bukan “kalangan biasa”. Gamawan Fauzi dalam kapasitas sebagai Menteri Dalam Negeri saat proyek itu bergulir, merupakan salah satunya.
Setya Novanto, Ketua DPR saat ini, jadi nama berikutnya yang bahkan terbaca dalam dakwaan punya peran besar. Pendahulu Novanto di kursi pimpinan parlemen, Marzuki Alie, masuk juga dalam daftar.
Ada pula Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dalam kapasitas sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR saat proyek tersebut berjalan.